Senin, 20 Desember 2010

BUDAYA BANJAR : AYUN BAPUKUNG

Guring – guring anakku guring
Guringakan dalam pukungan

Anakku nang bungas lagi bauntung

Hidup baiman mati baiman


Lirik di atas didendangkan manakala ibu-ibu masyarakat Banjar sedang menidurkan anak. Jika anaknya posisi berbaring lirik “pukungan“ dapat diganti dengan “ayunan“.
Yang lebih menarik adalah menidurkan anak ini sang ibu sambil bernyanyi dengan suara merdu berayun-ayun atau mendayu-dayu.
Isi lirik ini, puji-pujian pada anaknya yang ”bungas langkar ” dan doa agar anaknya kelak kuat imannya dalam agama sampai akhir hayatnya.
Kalau tidak berupa syair atau pantun, sang ibu membaca salawat rasul atau ayat – ayat suci Al Qur’an.
Seandainya anaknya masih rewel tidak juga mau tidur, biasanya sang ibu berkata : His ! cacak ! anakku jangan diganggu inya sudah guring ( His! Cecak anakku jangan diganggu dia sudah tidur ).
Bapukung adalah menidurkan anak dengan cara sang anak didudukan dalam ayunan dibalut dengan kain tapih sebatas leher.
Ayunan untuk ”guring bapukung” tak bedanya dengan ayunan dengan posisi dibaringkan yaitu terbuat dari tapih bahalai atau kain kuning dengan ujung –ujungnya diikat dengan tali haduk ( ijuk ). Ayunan ini biasanya digantungkan pada palang plapon di ruang tengah rumah. Pada tali tersebut biasanya diikatkan Yasin, daun jariangau, kacang parang, katupat guntur, dengan maksud dan tujuan sebagai penangkal hantu – hantu atau penyakit yang mengganggu bayi. Menidurkan anak dengan bapukung biasanya lebih cepat tertidur dari pada mengayun posisi berbaring.
Maayun anak ini terkadang diadakan pada acara Mauludan yakni tanggal 12 Rabiul Awwal. Dengan maksud agar mendapat berkah kelahiran Nabi Muhammad SAW
Pada perke
mbangannya, maayun anak ini menjadi sebuah tradisi budaya yang setiap tahun digelar dengan istilah “ Baayun Maulud” Baayun Maulud ini sungguh berisi pesan-pesan religiusitas, filosofis dan local wisdom ( kearifan local ).
Baayun Maulud ini setiap tanggal 12 Rabiul Awwal yakni menyambut dan memperingati Maulud Rasul, oleh masyarakat Desa Banua Halat Kecamatan Tapin Utara selalu mengadakan upacara Baayun Anak atau Baayun Maulud. Tradisi budaya ini mulai popular sejak tahun 1990-an.
Juga, Baayun Anak ini adalah salah satu agenda tahunan bagi Museum Lambung Mangkurat Banjarbaru Kalimantan Selatan. Yang lebih unik lagi pesta Baayun Anak ini bukan hanya baayun anak tetapi pesertanya juga baayun nenek dan kakek. Mereka sengaja ikut baayun karena nazar. Nazar ini karena sudah tercapai niat atau terkabul hajat seperti sudah naik haji, mendapat rejeki yang banyak atau untuk maksud agar penyakitnya hilang atau juga panjang umur.
Pada realitas masyarakat banjar, tradisi baayun anak sekarang ini berangsur-angsur mulai ditinggalkan atau dilupakan terutama diperkotaan karena arus globalisasi yang semakin dahsyad.
Diharapkan Lembaga Budaya Banjar (LBB) Kalsel, Lembaga Adat dan Kekerabatan Kesultanan Banjar dan Dewan Kesenia maupun intansi terkait dapat membendung arus globalisasi tersebut sehingga Adat Istiadat dan Seni Budaya Banjar tetap lestari di tanah Banjar ini, Semoga.*** Arsyad Indradi (Pengamat Seni Budaya,Penyair)

Kamis, 16 Desember 2010

Topeng,Karawitan dan Wayang Kulit Barikin

Oleh : Arsyad Indradi

Di tanah Banjar (Kalimantan Selatan) banyak punya tarian klasik seperti tari Radap Rahayu, Baksa Kembang,Baksa Dadap,Baksa Lilin, Baksa Panah dan lain-lain. Tarian ini hidup subur dalam keraton Kerajaan Banjar sejak berdirinya kerajaan Banjar pada tanggal 24 September 1526 ( M. Idwar Saleh,1981/1982) sampai berakhirnya perang Banjar yakni berakhirnya pemerintahan Pegustian sebagai penerus kerajaan Banjar tahun 1905 (Ideham, dkk. editor, 2003). Tarian ini masing-masing mempunyai fungsinya, misalnya Tari Radap Rahayu berfungsi dalam acara sakral yaitu menapungtawari penobatan raja atau pembesar kerajaan dan Tari Baksa Kembang untuk penyambutan tamu agung dari kerajaan lain. Setelah berakhirnya kerajaan lambat laun tarian-tarian ini mulai tenggelam dan yang masih betahan hidup adalah Tari Radap Rahayu dan Baksa Kembang di tanah Banjar.
Di samping tarian klasik .seperti tersebut di atas, sesungguhnya ada tarian klasik yang lebih tua yaitu Tari Topeng. Tari Topeng ini tetap lestari di sebuah Desa bernama Barikin dalam wilayah Kabupaten Hulu Sungai Tengah, sejak zaman dahulu sampai sekarang, turun-temurun dan mandiri. Tokoh penari topeng ini adalah “Mastaliah” bersama anak cucu asuhannya.
Menurut A.W.Syarbaini salah satu juriat Barikin yang juga sebagai pimpinan Sanggar Seni Tradisional Ading Bastari Barikin bahwa karawitan sudah ada di desa barikin sejak tahun 1410 yang dibawa oleh seorang Datu bergelar “Datu Taruna”, tari topeng sekitar tahun 1425 dan wayang kulit sekitar 1438.
Topeng Barikin ini juga ada beberapa jenis,lagu pengiring dan fungsinya. Ada yang berfungsi untuk memberi selamat dalam acara sakral “Manyanggar Banua”, dalam acara hajatan dan juga pagelaran berupa hiburan baik dalam perayaan hari-hari besar nasional,daerah mau pun acara perkawinan.
Jenis Tari Topeng Barikin dan lagu pengiringnya ini adalah 1).Panambi lagunya panambi 2).Pamindu lagunya pamindu 3).Gunung Sari lagunya gunung sari 4).Patih lagunya patih 5).Timanggung lagunya timanggung 6).Panji lagunya wani wani, dan 7).Lambang sari lagunya lambang sari. Pengiring tarian ini diiring tetabuhan seperangkat karawitan.
Seiring dengan tarian-tarian Topeng ini, karawitan Barikin ini berfungsi juga sebagai pengiring pertunjukan wayang kulit.. Tahun 1820 dikenal dengan K.Dalang “Kitut”. Setelah K.Dalang Kitut meninggal digantikan oleh putranya K.Dalang Tulur. Dalang ini sangat termashur dari tahun1950 sampai dengan tahun 1975.. Kemudian ditahun 1975 itu bertumbuhan dalang2 Barikin seperti Dalang Alili, Dalang Tuganal,.Dalang Didi dan dalang remaja seperti Dalang Dimansyah, Dalang Rahmadi, Dalang A.W.Syarbaini, dan Dalang Saderi yang sekarang bersama Group Wayang “Panji Sukma” Sanggar Ading Bastari, melanglang buana di Pulau Kalimantan sampai ke luar Pulau Kalimantan.
Pada acara Penobatan Raja Muda dan Penganugerahan Gelar Pangeran, 10-12 Desember 2010, di Martapura, Sanggar Ading Bastari mendapat kehormatan oleh Pangeran Haji Khairul Saleh menggelar Seni Budaya Banjar baik Badudus, Bajapin, Musik Panting, Tari Topeng dan Wayang Kulit.
Sungguh patut dan memang itu seharusnya, adat istiadat dan Seni Budaya Banjar terus dilestarikan dengan kerja nyata bukan hanya sekedar semboyan atau omongan belaka atau diperlukan manakala ada kepentingan lain atau hanya sesaat.*** Semoga.


Senin, 13 Desember 2010

Memangku Adat, menjemput Zaman

Mambangkit Batang Tarandam

Tarandam batang tarandam
Timbul tinggalam diarus banyu
Hilang jua di mata
Hilang jua di hati
Ingat kada jua diingat

Tarandam lawas tarandam
Tarandam lawas diarus banyu
Bangkitakanlah jua batang tarandam lawas
Pusaka paninggalan urang bahari

Mambangkit batang tarandam lawas tarandam
Pusaka bahari nang lawar pang tarandam
Tabangkit jua batang tarandam tabangkit
Barakat kita gawi sabumi

bbaru, 93


Indonesianya :

Mengangkat Batang Terendam

Terendam batang terendam
Timbul tenggelam di arus sungai
Hilang juga di mata
Hilang juga di hati
Ingat tiada juga diingat

Terendamn lama terendam
Terendam lama di arus sungai
Bangkitkanlah juga batang terendam lama
Pusaka peninggalan orang bahari

Mengangkat batang terendam lama terendam
Pusaka bahari yang lama sekali terendam
Terangkat juga batang terendam terangkat
Berkat gawi bergotongroyong

Banjarbaru, 93


Beta empunya diri, Pangeran Arsyad Indradi raja di kerajaan Hati nurani.Kerajaan ini kami bangun dengan hasil keringat kami sendiri,dan pantang dibantu oleh sesiapa termasuk Indonesia. Sebab bantuan ini hanya tipu muslihat sahaja.Kami telah bangkit bersama rakyat kami membangun kembali kerajaan kami setelah ratusan tahun hancur dijajah oleh setan2,dedemit2. Harta pusaka kami dijarah,adat istiadat dan seni budaya kami diinjak-injak.Di kerajaan kami, hukum dan perundangan-undangan kami tegakkan bersama rakyat kami,jangan harap koruptor, penipu kerajaan dan penipu rakyat kami, bisa lolos manis. Seluruh sektor kehidupan di kerajaan kami bangun.Agama, pendidikan dan ekonomi adalah tiga pilar utama.Kami dengan santun menolak kaum kapitalis,. imprealis dan sejenis lainnya masuk ke kerajaan kami,sebab kami punya SDM yang handal.Kami bangun kembali SDA kami yang musnah. Sesungguhnya ingin banyak yang akan kami utarakan pada tuan2,tapi tidak, nanti kami akan menganggap tuan2 adalah kaum yang bebal.***

Senin, 06 Desember 2010

RUMAH BANJAR KOLONI KELELAWAR

Oleh: HE. Benyamine

Mengunjungi anjungan rumah Banjar di Taman Mini Indonesia Indah, seakan sedang menyaksikan istana kelelawar. Meski sudah pernah mendapatkan informasi tentang rumah Banjar yang di huni kelelawar dalam pemberitaan, ternyata melihat langsung memberikan sensasi tersendiri, dan sekaligus terbesit pertanyaan mengapa hal seperti ini dapat terjadi pada anjungan yang keberadaannya untuk memperkenalkan Kalimantan Selatan dengan bentuk bangunan salah satu rumah adat Banjar tersebut. Malah, nampak terlihat berserakannya kotoran kelelawar, yang menandakan telah terjadi koloni terhadap tempat itu, sebagaimana terjadinya koloni terhadap Kalsel oleh perusahaan pertambangan dan perkebunan.

Menurut pemerintah provinsi, berbagai cara sudah dilakukan untuk mengusir kelelawar dari anjungan Kalsel, namun hasilnya tidak menggembirakan dan belum berhasil, bahkan dengan cara gaib juga sudah pernah dicoba. Rumah Banjar di Ibukota itu seakan telah mengatakan kepada orang-orang yang tertahan dari jauh untuk membatalkan niatnya mengujungi tempat itu, karena koloni kelelawar telah memberikan pesan siapa yang berkuasa atas anjungan tersebut, dan juga memberikan gambaran tentang tiadanya perawatan atas bangunan serta melupakan untuk apa anjungan itu dibangun.

Ada yang berkelakar, kelelawar di anjungan Kalsel merupakan bentuk unjuk rasa kelelawar karena gunung-gunung, lembah, dan bukit-bukit yang menjadi tempat tinggal mereka telah diobrak-abrik pertambangan dan perambahan hutan, sehingga kelelawar memilih untuk pindah ke anjungan Kalsel agar dapat dilihat orang luar tentang kerusakan alam. Kelakar seperti ini memang sering terdengar pada saat lagi mawarung, yang tentu saja untuk bahan tertawaan.
Pengelola anjungan Kalsel sudah berupaya dengan memasang lampu sorot dari sudut rumah mengarah ke atap bubungan tinggi, naman hal ini ternyata tidak membuat kelelawar meninggalkan anjungan. Orang yang berkunjung dan mengetahui maksud diletakkannya lampu sorot tersebut, malah membayangkan bagaimana warga dalam film Batman meminta bantuan kepada Batman, sehingga hal itu menjadi lelucon tersendiri yang mengatakan bahwa wajar saja kelelawarnya tidak mau pindah dikiranya panggilan sebagaimana lampu sorot untuk panggilan Batman.

Bahkan, Arsyad Indradi menyatakan sanggup (serius atau bercanda beliau yang tahu) untuk mengusir kelelawar yang ada di anjungan Kalsel tersebut, jika dia diminta untuk mengatasinya. Si penyair gila tersebut bersedia untuk tinggal di sana untuk sementara hingga kelelawar minggat dari anjungan dengan disediakan fasilitas yang dibutuhkan. Menurutnya kelelawar tersebut hanya memanfaatkan tempat yang sepi dan tidak terurus, sehingga yang dibutuhkan adalah adanya aktivitas dari pengelola anjungan tersebut. Dengan melakukan berbagai aktivitas pada siang hari, dengan berbagai bentuk pagelaran kesenian, khususnya yang tradisional, untuk sekaligus memberikan panggung bagi pertunjukkan kesenian tradisional. Atau, setiap hari diperdengarkan lagu-lagu Banjar dan jenis kesenian lainya dalam bentuk audio untuk mengganggu tidur kelelawar. Bisa juga melaksanakan ritual bagandang nyiru, dengan tujuan membuat kegaduhan dan gangguan terhadap tidur kelelawar.

Dengan Kelelawar yang menghuni anjungan Kalsel merupakan suatu tanda bahwa anjungan tersebut terlantar, menjadi tempat yang sepi, dan tiadanya aktivitas yang menandakan adanya penghuni tempat tersebut. Menurut Sirajul Huda sebagaimana yang dituturkannya, dulu saat anjungan Kalsel itu banyak aktivitas; dengan berbagai pergelaran dan pertunjukkan, tidak ada kelelawar. Kelelawar menempati anjungan Kalsel setelah aktivitas yang biasanya dilaksanakan sudah mulai tidak terlihat, sehingga anjungan menjadi tempat yang sepi pada siang hari yang memberikan suasana bagi kelelawar tidak terganggu dan merasa sebagai rumahnya sendiri. Apalagi, anjungan Kalsel yang dipasang plafon sehingga memberikan ruang kosong gelap pada bubungan tingginya; yang cocok untuk sarang kelelawar, lebih baik dibongkar dan diganti dengan plafon yang langsung menempel pada rangka bubungan tinggi.

Kelelawar akan merasa terganggu jika anjungan Kalsel itu terus melaksanakan berbagai aktivitas pada siang hari, terutama pergelaran dan pertunjukkan kesenian tradisional, yang mana sekaligus untuk memberikan panggung bagi penggiat kesenian tradisional. Dengan mendatangkan para penggiat kesenian tradisional dari Kalsel untuk pentas di anjungan Kalsel, tentu tempat itu tidak lagi seperti gua Batuhapu yang sepi pada malam hari, tetapi akan menjadi gaduh pada malam hari untuk latihan dan aktivitas siang hari untuk penampilan. Para penggiat kesenian tradisional Kalsel yang berdomisili di Jakarta juga dapat diminta dan difasilitasi untuk melakukan pegelaran kesenian, sehingga anjungan Kalsel tiada hari dengan sepi.

Para penggiat kesenian tradisional dari Kalsel yang mendapatkan kesempatan dan fasilitas untuk tampil di anjungan Kalsel, kemungkinan besar mereka bersedia menginap di anjungan tersebut sebagai bagian persiapan untuk pementasannya. Ketersedian MCK anjungan perlu diperhatikan, agar layak untuk menjadi tempat menginap bagi rombongan kesenian. Dengan kehadiran tim kesenian yang datang silih berganti, anjungan Kalsel tidak lagi menjadi tempat sepi dan tidak terawat. Anjungan Kalsel merupakan satu di antara anjungan daerah lainnya, yang mudah bagi para pengunjung Taman Mini Indonesia Indah membandingkan antara anjungan, sehingga sangat jelas perbedaan antara anjungan yang terawat dan ada aktivitasnya dengan yang terlantar, apalagi dengan cengkraman koloni kelelawar yang melempar tahi ke muka Kalsel.

Untuk pementasan atau pergelaran kesenian tradisional di anjungan Kalsel, para anggota dewan (11 anggota DPR dan 4 anggota DPD) dapat diketok pintu hatinya untuk menunjukkan kepedulian pada anjungan Rumah Banjar itu dengan memfasilitasi para rombongan kesenian tradisional setiap bulan sekali dari rombongan yang berbeda-beda untuk dapat pentas, setidaknya satu wakil rakyat satu pertunjukkan. Dengan cara yang lain juga dapat mereka lakukan, setidaknya para wakil rakyat itu malu dengan keadaan anjungan Kalsel yang mana keberadaannya di tempat mereka berdomisili saat ini. Sedangkan figur Menteri Lingkungan Hidup yang berasal dari Kalsel, mungkin juga merasakan malu atas koloni kelelawar pada anjungan Rumah Banjar, yang seperti pesan bagaimana kondisi Kalsel yang mengalami kerusakan alam dan lingkungan hidup; seakan kelelawar bagian korban yang mengungsi ke anjungan Kalsel tersebut.

Jadi, koloni kelelawar terhadap anjungan Rumah Banjar terjadi karena tempat itu kehilangan aktivitasnya, sehingga lebih sering dalam suasana sepi yang memberikan ketenangan pada kelelawar untuk melewatkan siang hari. Pemerintah provinsi harus bertindak cepat dan segera, karena anjungan Kalsel merupakan identitas yang ditampilkan di Ibukota, yang tentunya tidak ingin menjadi gambaran bagaimana tanah Banjar terlihat seperti sedang mengalami masa koloni yang nampak diperlihatkan kelelawar di anjungan Rumah Banjar, dan pihak yang berwenang terlihat tidak dapat berbuat apa-apa sehingga rumah identitasnya dipenuhi dengan berserakannya tahi kelelawar.

(Radar Banjarmasin, 6 Desember 2010: 3)

Rabu, 03 November 2010

Pendulangan Intan Salah Satu Objek Wisata



Orang – orang dari luar Kalimantan Selatan yang kebetulan berada di “Tanah Banjar “ ini terutama bagi wisatawan tak pernah melewatkan mengunjungi daerah pendulangan ini..
Kawasan daerah pendulangan tradisional di Desa Pumpung, kelurahan Sungai Tiung, Kecamatan Cempaka. Mendulang intan bagi penduduk Desa Pumpung dan sekitarnya, merupakan mata pencaharian turun -temurun. Tetapi banyak juga dari daerah lain yang datang untuk mengadu nasib. Di daerah ini, disamping mendulang intan juga mendulang emas. Umumnya pendulang bekerja dengan kerja berkelompok.- kelompok. Jumlah anggota kelompok ini ada yang puluhan orang. Sebelum bekerja mereka terlebih dahulu mengenali tempat yang dimungkinkan atau diperkirakan terdapat intan. Untuk mencari tempat ini biasanya ada pemandu atau orang setempat menamakannya “mualim”. Lobang yang digali mencapai kedalaman 15 meter dengan menggunakan perkakas tradisional seperti dulangan yang berbentuk bulat kerucut yang terbuat dari kayu, tirak atau linggis, tangguk kecil yang dibuat dari anyaman rotan. Untuk membuang air dari lobang itu, mereka menggunakan pompa air .
Mereka bekerja dari pagi sampai sore. Ada beberapa larangan atau tabu selama bekerja antara lain : tidak boleh menyebut nama intan tetapi “galuh”. Sebab apabila menyebut “intan” maka intannya itu akan menjauh. Tidak boleh berkata-kata yang tidak sopan apalagi berbuat melanggar etika.
Cempaka adalah kawasan pendulangan intan dan emas yang terletak sekitar 47 km dari Kota Banjarmasin dan 7 km dari Kota Banjarbaru.
Di tempat ini akan dapat melihat langsung bagai mana para pendulang bekerja mencari intan atau emas di lobang – lobang galian sampai pada proses pencucian batu – batu yang masih bercampur lumpur.
Pada tahun 1846 di tambang ini pernah didapatkan intan seberat 20 karat. Dan pada tahun 1850 rekor itu telah dipecahkan dengan didapatkannya intan seberat 167,5 karat. Pada tanggal 26 Agustus 1965. ditemukan 166,75 karat oleh sekelompok pedulang intan di bawah pimpinan H. Madslam dkk (24 orang) di lokasi pendulangan intan Sungai Tiung Kec. Cempaka Kota Banjarbaru Kalsel ( pada waktu itu masih wilayah Kabupaten Banjar ) Presiden Soekarno memberi nama intan itu “ Intan Trisakti “.
*** Arsyad Indradi.

Eksotika Pasar Terapung

Pasar Terapung di Lok Baintan Kabupaten Banjar

Pasar Terapung di Kuin Bnjarmasin

Ada dua lokasi pasar terapung di Kalimantan Selatan, yaitu Kuin Banjarmasin dan Lok Baintan Kabupaten Banjar. Pasar terapung Lok Baintan ini merupakan pasar terapung yang lebih besar dari pasar terapung Kuin, dan masih terasa ketradisionalannya. Di dunia, pasar terapung ini yang merupakan alami hanya terdapat di Kalimantan Selatan, keunikannya sungguh menakjubkan demikian juga eksotiknya. Orang bertransaksi dengan jukung (perahu). Barang dagangannya adalah hasil bumi. Mereka adalah petani yang menjual hasil buminya ke sini.
Aktivitasnya, dimulai selepas subuh (dini hari) hingga sekitar jam 10 wita.
Eksotik lainnya,semua petani dan pedagangnya memakai tanggui. Tanggui adalah topi besar dari daun rumbia. Tanggui ini khas dari Kalimantan Selatan.
Bukan itu saja, keramahan dan keakraban para petani dan pedagangnya yang
semuanya dominan perempuan itu menambah pesona yang hadir di situ. Dan melihat aneka sayur-mayur dan buah-buahan yang segar, seakan-akan menghadirkan kesegaran jiwa bagi anda yang saban hari dijejali oleh kepenatan dan kejenuhan dunia kerja. Ini sungguh-sungguh eksotik.***A.Indradi.


SEJARAH DAN PERANAN MUSIK PANTING


Oleh : Fahrurraji Asmuni/Raji Abkar


A. PENGERTIAN MUSIK PANTING

Musik Panting adalah musik tradisional suku Banjar di Kalimantan Selatan. Disebut musik panting karena didominasi oleh alat musik yang dinamakan panting, sejenis gambus yang memakai senar (panting) maka disebut musik panting.

B. SEJARAH MUSIK PANTING

Pada awalnya musik panting berasal dari daerah Tapin, Kalimantan Selatan. Panting merupakan alat musik yang dipetik yang berbentuk seperti gabus Arab tetapi ukurannya lebih kecil. Pada waktu dulu musik panting hanya dimainkan secara perorangan atau secara solo. Karena semakin majunya perkembangan zaman dan musik panting akan lebih menarik jika dimainkan dengan beberapa alat musik lainnya, maka musik panting sekarang ini dimainkan dengan alat-alat musik seperti babun, gong,dan biola dan pemainnya juga terdiri dari beberapa orang. Nama musik panting berasal dari nama alat musik itu sendiri, karena pada musik panting yang terkenal alat musik nya dan yang sangat berperan adalah panting, sehingga musik tersebut dinamai musik panting. Orang yang pertama kali memberi nama sebagai musik panting adalah A. SARBAINI. Dan sampai sekarang ini musik panting terkenal sebagai musik tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan.

C. TOKOH-TOKOH MUSIK PANTING

Pada umumnya orang yang memainkan musik panting adalah masyarakat Banjar. Tokoh yang paling terkenal sebagai pemain panting adalah A. SARBAINI. Dan ada juga group-group musik panting yang lain. Tetapi sekarang ini seiring dengan adanya perkembangan zaman group musik panting menjadi semakin sedikit bahkan jarang ditemui.

D. ALAT-ALAT MUSIK PANTING

alat musik pantingAlat-alat musik panting terdiri dari :
a. Panting, alat musik yang berbentuk seperti gabus Arab tetapi lebih kecil dan memiliki senar. Panting dimainkan dengan cara dipetik.
b. Babun, alat musik yang terbuat dari kayu berbentuk bulat, ditengahnya terdapat lubang, dan di sisi kanan dan kirinya dilapisi dengan kulit yang berasal dari kulit kambing. Babun dimainkan dengan cara dipukul.
c. Gong, biasanya terbuat dari aluminium berbentuk bulat dan ditengahnya terdapat benjolan berbentuk bulat. Gong dimainkan dengan cara dipukul.
d. Biola, sejenis alat gesek.
e. Suling bambu, dimainkan dengan cara ditiup.
f. Ketipak, bentuknya mirip tarbang tetapi ukurannya lebih kecil, dan kedua sisinya dilapisi dengan kulit.
g. Tamburin, alat musik pukul yang terbuat dari logam tipis dan biasanya masyarakat Banjar menyebut tamburin dengan nama guguncai.

E. CARA PENYAJIAN MUSIK PANTING

Menurut cara penyajiannya panting termasuk jenis musik ansambel campuran. Karena terdiri dari berbagai jenis alat musik. Dalam pertunjukan musik panting, biasanya jumlah pantingnya sebanyak 3 buah dan ditambah alat-alat musik lainnya. Musik panting disebut juga dengan nama japin apabila penyajiannnya diiringi dengan tarian. Musik panting disajikan dengan lagu-lagu yang biasanya bersyair pantun. Pantun tersebut berisi nasehat ataupun pantun petuah, dan pantun jenaka. Lagu yang dinyanyikan monotor, yang artinya musik tersebut dinyanyikan tanpa ada reff. Pemain musik panting memainkan musik tersebut dengan cara duduk, para pemain laki-laki duduk dengan bersila, sedangkan pemain perempuan duduk dengan bertelimpuh. Para pemain musik panting pada umumnya mengenakan pakaian Banjar. Yang laki-laki mengenakan peci sebagai tutup kepala sedangkan pemain perempuan menggunakan kerudung.

F FUNGSI MUSIK PANTING

Musik panting mempunyai fungsi sebagai :
1. Sebagai hiburan, karena musiknya dan syair-syairnya yang terkadang jenaka dan dapat menghibur orang banyak. Oleh karena itu, musik panting sering digunakan pada acara perkawinan.
2. Sebagai sarana pendidikan, karena didalam musik panting syainya berisi tentang nasehat-nasehat dan petuah.
3. Sebagai musik yang memiliki nilai-nilai agama, karena musik-musiknya mengandung unsur-unsur agama.
4. Untuk mempererat tali silaturahmi antar sesama warga masyarakat.
5. Sebagai kesenian musik tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan.


MUSIK KENTUNG ( MUSIK TRADISIONAL BANJAR)


Oleh : Arsyad Indradi

Musik ini berasal dari daerah Kabupaten Banjar yaitu di desa Sungai Alat Kecamatan Astambul dan kampung Bincau Kecamatan Martapura. Pada masa sekarang, musik kentung ini sudah mulai langka. Masa dahulu alat musik ini dipertandingkan. Dalam pertandingan ini bukan saja pada bunyinya, tetapi juga hal-hal yang bersifat magis, seperti kalau dalam pertandingan itu alat musik ini bisa pecah atau tidak dapat berbunyi dari kepunyaan lawan bertanding.
Bahan untuk membuat alat musik kentung ini adalah bambu. Bentuknya seperti angklung dari Jawa Barat. Untuk mengatur bunyi tergantung pada rautan bagian atasnya hingga melebihi dari seperdua lingkaran bambu. Rautan itu makin ke atas semakin mengecil sebagai pegangannya. Sedang bagian bawahnya tetap seperti biasa. Panjangnya biasanya dua ruas, dan buku yang ada di bagian tengahnya ( dalam ) dibuang agar menghasilkan bunyi. Pengaturan bunyi biasanya tergantung pada rautan bagian atasnya. Semakin dibuang atasnya itu akan menimbulkan nada yang lebih tinggi.
Biasanya bambu yang digunakan untuk membuat alat musik ini tidak sembarang bambu artinya harus dipilih secara cermat terutama yang dapat mengeluarkan bunyi yang bagus dan juga tidak mudah pecah.
Musik kentung termasuk alat musik pentatonis, boleh dikatakan pula sejenis alat musik perkusi. Karena cara membunyikannya dihentakkan pada sebuah potongan kayu yang bundar. Alat musik kentung ini berjumlah 7 buah dan masing-masing mempunyai nama, yaitu : Hintalu randah, hintalu tinggi, tinti pajak,tinti gorok,pindua randah, pindua tinggi dan gorok tuha.
Pada perkembangannya musik kentung yang merupakan musik yang bersifat instrumentalia ini, dapat mengiringi lagu atau nyanyian Banjar umumnya yang berjenis lagu-lagu tirik dan japin. Agar lebih harmonisasinya biasanya ditambah dengan babun ( gendang ) dan gong atau alat musik lainnya yang diperlukan.
Musik tradisional ini sesungguhnya perlu dilestarikan dalam rangka mengembangkan kesenian nasional, agar dapat memperkaya hazanah kesenian Indonesia yang beraneka ragam. Semoga pihak yang terkait terutama lembaga seni budaya seperti lembaga Budaya Banjar, Pariwisata, Dewan Kesenian Daerah maupun komunitas seni di daerah ini peduli akan keberadaan yang bernama musik kentung yang rawan semakin punah.Semoga.

MAULID BARZANJI

Al-Barzanji adalah karya tulis berupa prosa dan sajak yang isinya bertutur tentang biografi Muhammad, mencakup *nasab*-nya (silsilah), kehidupannya dari masa kanak-kanak hingga menjadi rasul. Selain itu, juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimilikinya, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan manusia.
Judul aslinya adalah *’Iqd al-Jawahir *(Kalung Permata). Namun, dalam perkembangannya, nama pengarangnyalah yang lebih masyhur disebut, yaitu Syekh Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad al-Barzanji. Dia seorang sufi yang lahir di Madinah pada 1690 M dan meninggal pada 1766 M.
*Relasi Berjanji dan Muludan
*Ada catatan menarik dari Nico Captein, seorang orientalis dari Universitas Leiden, dalam bukunya yang berjudul *Perayaan Hari Lahir Nabi Muhammad SAW *(INIS, 1994). Menurutnya, Maulid Nabi pada mulanya adalah perayaan kaum Syi’ah Fatimiyah (909-117 M) di Mesir untuk menegaskan kepada publik bahwa dinasti
tersebut benar-benar keturunan Nabi. Bisa dibilang, ada nuansa politis di balik perayaannya.
Dari kalangan Sunni, pertama kali diselenggarakan di Suriah oleh Nuruddin pada abad XI. Pada abad itu juga Maulid digelar di Mosul Irak, Mekkah dan seluruh penjuru Islam. Kendati demikian, tidak sedikit pula yang menolak memperingati karena dinilai *bid’ah *(mengada-ada dalam beribadah). Adapun Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi yang dikenal sebagai perintis peringatan Maulid, sebenarnya hanya berperan menghidupkan kembali atau merevitalisasi Maulid yang pernah ada pada masa Dinasti Fatimiyah. Tujuannya, membangkitkan
semangat *jihad *(perjuangan) dan *ittihad *(persatuan) tentara Islam melawan *crusaders *(Pasukan Salib) yang saat itu memang memerlukan keteguhan dan keteladanan. Dari itulah muncul anggapan, Shalahuddin adalah penggagas dan peletak dasar peringatan Maulid Nabi. Adapun historisitas al-Barzanji berawal dari lomba menulis riwayat dan puji-pujian kepada Nabi yang diselenggarakan Shalahuddin pada 580 H/1184 M.
Dalam kompetisi itu, karya indah Syekh Ja`far al-Barzanji tampil sebagai yang terbaik. Sejak itulah Kitab Al-Barzanji mulai disosialisasikan. Di Indonesia, tradisi Berjanjen bukan hal baru, terlebih di kalangan
*Nahdliyyin
*(sebutan untuk warga NU). Berjanjen tidak hanya dilakukan pada peringatan Maulid Nabi, namun kerap diselenggarakan pula pada tiap malam Jumat, pada upacara kelahiran, *akikah *dan potong rambut, pernikahan, syukuran, dan upacara lainnya. Bahkan, pada sebagian besar pesantren, Berjanjen telah
menjadi kurikulum wajib.
Selain al-Barzanji, terdapat pula kitab-kitab sejenis yang juga bertutur tentang kehidupan dan kepribadian Nabi. Misalnya, kitab
*Shimthual-Durar, karya al-Habib Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi (Syair Maulud Al-Habsy),
*al-Burdah, karya al-Bushiri dan
*al-Diba, karya Abdurrahman al-Diba’iy.
*Inovasi Baru
*Esensi Maulid adalah penghijauan sejarah dan penyegaran ketokohan Nabi sebagai satu-satunya idola teladan yang seluruh ajarannya harus dibumikan. Figur idola menjadi miniatur dari idealisme, kristalisasi dari berbagai falsafah hidup yang diyakini. Penghijauan sejarah dan penyegaran ketokohan itu dapat dilakukan kapan pun, termasuk di bulan Rabi’ul Awwal. Kaitannya dengan kebangsaan, identitas dan nasionalisme seseorang akan lahir jika ia membaca sejarah bangsanya. Begitu pula identitas sebagai penganut agama akan ditemukan (di antaranya) melalui sejarah agamanya. Dan, dibacanya Kitab al-Barzanji merupakan salah satu sarana untuk mencapai tujuan esensial itu, yakni ‘menghidupkan’ tokoh idola melalui teks-teks sejarah.
Permasalahannya sekarang, sudahkah pelaku Berjanjen memahami bait-bait indah al-Barzanji sehingga menjadikannya ispirator dan motivator keteladanan?
Barangkali, bagi kalangan santri, mereka dapat dengan mudah memahami makna tiap baitnya karena (sedikit banyak) telah mengerti bahasa Arab. Ditambah kajian khusus terhadap referensi penjelas *(syarh) *dari al-Barzanji, yaitu kitab *Madarij al-Shu’ud *karya al-Nawawi al-Bantani, menjadikan pemahaman mereka semakin komprehensif.
Bagaimana dengan masyarakat awam? Tentu mereka tidak bisa seperti itu. Karena mereka memang tidak menguasai bahasa Arab. Yang mereka tahu, kitab itu bertutur tentang sejarah Nabi tanpa mengerti detail isinya. Akibatnya, penjiwaan dan penghayatan makna al-Barzanji sebagai inspirator dan motivator hidup menjadi tereduksi oleh rangkaian ritual simbolik yang tersakralkan.
Barangkali, kita perlu berinovasi agar pesan-pesan profetik di balik bait al-Barzanji menjadi tersampaikan kepada pelakunya (terutama masyarakat awam) secara utuh menyeluruh. Namun, ini tidaklah mudah. Dibutuhkan penerjemah yang andal dan sastrawan-sastrawan ulung untuk mengemas bahasa al-Barzanji
ke dalam konteks bahasa kekinian dan kedisinian. Selain itu, juga mempertimbangkan kesiapan masyarakat menerima inovasi baru terhadap aktivitas yang kadung tersakralkan itu. Inovasi dapat diimplementasikan dengan menerjemahkan dan menekankan aspek keteladan. Dilakukan secara gradual pasca-membaca dan melantunkan syair al-Barzanji. Atau mungkin dengan kemasan baru yang tidak banyak menyertakan
bahasa Arab, kecuali lantunan shalawat dan ayat-ayat suci, seperti dipertunjukkan W.S. Rendra, Ken Zuraida (istri Rendra), dan kawan-kawan pada Pentas Shalawat Barzanji pada 12-14 Mei 2003 di Stadion Tennis Indoor, Senayan, Jakarta. Sebagai pungkasan, semoga Barzanji tidak hanya menjadi ‘lagu wajib’ dalam
upacara, tapi (yang penting) juga mampu menggerakkan pikiran, hati, pandangan hidup serta sikap kita untuk menjadi lebih baik sebagaimana Nabi.
Dan semoga, Maulid dapat mengentaskan kita dari keterpurukan sebagaimana Shalahuddin Al-Ayubi sukses membangkitkan semangat tentaranya hingga menang dalam pertempuran. Di Kalsel albarzanji sekarang jarang dibacakan.

**********Ditulis ulang oleh_Awiiier **********
________________________________________

Jumat, 22 Oktober 2010

Keraton Banjar, Permendagri 39/2007, dan Pelestarian Budaya


oleh Sainul Hermawan

Akhir-akhir ini (sejak September 2010) ada perbincangan menarik di kalangan pemerhati budaya di Kalimantan Selatan (Kalsel) tentang pelestarian budaya Banjar kontemporer di tengah rendahnya perhatian pemerintah yang seharusnya merawatnya. Pembicaraan tersebut dipicu oleh rencana bupati Banjar yang ingin membangun replika keraton Banjar sebagai salah satu upaya pelestarian budaya. Pemkab Banjar di lamannya telah melakukan jajak pendapat tentang lokasi idealnya. Sampai 10 Oktober 2010, telah terkumpul 260 suara yang 65% setuju lokasinya di Kabupaten Banjar. Untuk mendapatkan gambaran otentik dari rencana tersebut kita bisa lihat di website Lembaga Adat dan Kekerabatan Kesultanan Banjar (LAKKB)[1]
Ada pernyataan menarik di laman itu untuk dicermati dengan seksama oleh masyarakat Banjar, terkait dengan dasar hukum rencana pembangunan itu, yaitu Permendagri Nomor 39 Tahun 2007. Selengkapnya, kutipan berita di laman itu sebagai berikut:
Bupati Banjar juga menyebutkan, dia sudah menyiapkan lahan seluas 2 hektar sebagai areal pembangunan Keraton Banjar. Terkait dengan pembangunan Keraton Banjar, berdasarkan Permendagri Nomor 39 Tahun 2007 tentang pedoman fasilitasi organisasi kemasyarakatan bidang kebudayaan, keraton dan lembaga adat dalam pelestarian dan pengembangan budaya daerah, memuat pernyataan bahwa pembangunan keraton, lembaga adat, bisa didanai oleh pemerintah melalui APBD.
Berapakah biaya pembangunan istana atau keraton Kesultanan Banjar? “Pembangunan Keraton Banjar oleh provinsi, tanahnya oleh Kabupaten Banjar. Dananya juga dianggarkan provinsi. Berapa biayanya, saya tidak tahu. Ini urusan Balitbang Kalsel, kalau kurang ditambah dengan APBN atau perantau Banjar di luar negeri dan luar daerah yang berjanji membantu mewujudkan pembangunannya. Pembangunan Keraton Banjar akan mengacu pada rumah Banjar. Realisasi pembangunannya 2011,” papar Khairul Saleh, yang belum lama tadi diangkat sebagai ketua Forum Silaturahmi Kesultanan se Nusantara (FSKN) wilayah Kalsel.
Jika dibaca sepintas, Permendagri yang disebutkan tersebut seakan menjadi dasar hukum pembangunan keraton, tapi bacalah sendiri dengan seksama bahwa Permendagri itu bukan dasar untuk membangun keraton. Bunyi pertimbangan dikeluarkannya peraturan menteri ini dapat dibaca pada butir d yang berbunyi: bahwa organisasi kemasyarakatan bidang kebudayaan, keraton, dan lembaga adat di daerah memiliki potensi besar untuk berperanserta dalam pengembangan dan pelestarian adat budaya. Artinya, peraturan ini menjadi dasar bagi yang telah memiliki keraton untuk mengembangkan kegiatan budaya, bukan untuk mendirikan keraton yang telah musnah. Dalam Permendagri tersebut tidak ada pernyataan bahwa pembangunan keraton, lembaga adat, bisa didanai oleh pemerintah melalui APBD. Pernyataan ini adalah tafsiran yang sangat arbitrer terhadap maksud pasal 10.
Dalam pasal 10 ayat 1 dinyatakan: Penyelenggaraan kegiatan pelestarian dan pengembangan budaya daerah yang melibatkan ormas kebudayaan, keraton dan lembaga adat didukung pendanaannya dari anggaran pendapatan dan belanja daerah propinsi dan/atau kabupaten/kota, serta sumber-sumber lain yang sah. Dengan kata lain, provinsi hanya boleh mendanai jika keraton itu telah berdiri dan telah menyelenggarakan kegiatan pelestarian dan pengembangan budaya.
Lebih aneh lagi jika yang akan tampil sebagai pangeran dalam keraton yang direncanakan dibangun itu adalah orang yang saat ini sedang menjabat sebagai bupati, karena dalam Permendagri itu jelas-jelas disebutkan pada pasal 1 bahwa yang dimaksud dengan kepala adalah Gubernur, Bupati dan Walikota. Artinya, ketiga pihak ini tak berhak sekaligus berfungsi ganda sebagai pangeran di keraton yang akan dibangun.
Jika bupati sekaligus jadi pangeran keraton, akan tampak lucu jika melaksanakan tata laksana kegiatan sebagaimana tercantum dalam Bab IV, pasal 6, ayat 1, yang berbunyi: Kepala daerah mengundang pimpinan ormas kebudayaan, keraton, dan lembaga adat untuk menyampaikan usulan program pelestarian dan pengembangan budaya daerah. Artinya, jika memang bupati lebih tertarik untuk menjadi pemimpin keraton, dia harus melepaskan jabatannya sebagai bupati.
Peraturan ini menegaskan bahwa pengembangan budaya daerah saat ini bukan lagi tugas Jakarta. Wewenang telah pindah ke daerah. Maju mundurnya kebudayaan di daerah akan ditentukan oleh tepat tidaknya sasaran pembangunannya.
Peraturan ini juga menjadi dasar bagi budayawan di Kalsel untuk membentuk ormas kebudayaan yang berhak pula untuk didanai oleh APBD sebaimana tercantum dalam pasal 1 ayat 6: Organisasi kemasyarakatan bidang kebudayaan yang selanjutnya disebut ormas kebudayaan adalah organisasi nonpemerintah bervisi kebangsaan yang dibentuk oleh warganegara Indonesia secara sukarela dan telah terdaftar di pemerintah daerah setempat, serta bukan organisasi sayap partai, yang kegiatannya memajukan dan mengembangkan kegiatan. Ini kesempatan bagus sebenarnya bagi Aruh Sastra Kalsel yang selama ini bergiat dalam pengembangan seni sastra di Kalsel untuk membulatkan diri menjadi ormas kebudayaan.
Permendagri ini juga menjadi dasar yang otentik bagi Lembaga Budaya Banjar untuk mengajukan rencana pengembangan budaya Banjar untuk didanai oleh APBD secara jelas. Jadi, Permendagri 39 itu bukan landasan hukum yang tepat untuk mendirikan replika keraton Banjar dengan dalih pelestarian budaya karena pelestarian kebudayaan yang dimaksud oleh peraturan ini dapat dilakukan organisasi masyarakat kebudayaan yang non-pemerintah, non-partai, non-profit oriented.
Ada baiknya pihak-pihak yang bersemangat dalam rencana tersebut untuk membaca kembali Permendagri 39/2007 itu dengan seksama sehingga niat baik untuk melestarikan budaya Banjar mendapatkan landasan hukum, logika, dan etika yang kuat. Karena dengan cara demikian, masyarakat tidak lagi mempolemikkan masalah rencana penggunaan uang rakyat untuk rencana yang masih samar-samar konsepnya itu dan mulai mengundang kontroversi dan polemik di tengah masyarakat. Pelestarian budaya Banjar jangan hanya direduksi dengan ada dan tiadanya keraton Banjar. Permendagri tersebut sadar betul bahwa pelestarian budaya adalah tanggung jawab banyak pihak, baik secara individual maupun secara kolektif. Pranata sosial yang sangat besar perannya adalah keluarga Banjar. Pusat pelestarian budaya Banjar yang selama ini berlangsung bukan terjadi di tataran elite, tetapi terjadi di keluarga melalui praktik sosial yang rutin, bukan dalam rangka seremonial dan festival.
Ada ranah pelestarian budaya Banjar yang lebih urgen dan signifikan untuk dibiayai oleh APBD Provinsi yaitu upaya-upaya penindaklanjutan Perda Nomor 7 Tahun 2009 tentang pemeliharaan bahasa dan sastra daerah, termasuk di dalamnya bahasa dan sastra Banjar. Bukankah faktor keintiman orang Banjar dengan keluarga yang melahirkannya dan bahasa yang mereka gunakanlah yang membuat mereka merasa sebagai bagian dari budaya Banjar?
Dalam hubungan dengan rencana strategis pelestarian budaya Banjar tersebut, Diknas provinsi, kabupaten, dan kota bisa menyelenggarakan kegiatan bersama dalam bentuk hibah bersaing penulisan buku ajar atau diktat pembelajaran bahasa dan sastra Banjar untuk semua tingkatan sekolah. Pesertanya adalah para guru di Kalsel. Pada tahap berikutnya, perlu segera dipikirkan kerja sama antara Diknas Provinsi dan Unlam atau LPTK swasta di Kalsel untuk membuka program studi khusus, yaitu Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Banjar (PBSB) sebagai upaya nyata menyiapkan guru pengajar bahasa dan sastra Banjar. Tindak lanjut Perda Nomor 7 tahun 2009 itulah pintu pembuka yang konkret untuk mulai melestarikan budaya Banjar. Sebab jalan pewarisan kebudayaan yang utama adalah melalui pendidikan.
Langkah lainnya adalah dengan membangun ruang khusus di perpustakaan provinsi, kabupaten, dan kota untuk menyimpan naskah, buku, foto, video dokumentasi yang menunjang studi tentang kebanjaran masa lalu sampai masa kini. Ini pun tentu memerlukan dana yang banyak. Apakah telah ada upaya sungguh-sungguh para aparat yang berwenang untuk mendatangkan koleksi tentang kebanjaran yang saat ini tersebar di seluruh penjuru dunia untuk menjadi penghuni perpustakaan provinsi? Ada berapa ribu koleksi naskah tentang kebanjaran di perpustakaan provinsi? Apakah telah ada langkah-langkah agar generasi saat ini tergerak untuk membuka dan mempelajarinya? Kalau belum, janganlah terlalu jauh bicara soal pelestarian budaya.

Radar Banjarmasin, 12 Oktober 2010

MEMBANGUN KERATON BANJAR



Oleh: HE. Benyamine

Pembangunan Keraton Banjar dengan menggunakan uang rakyat adalah suatu bentuk pengakuan adanya perubahan pandangan terhadap keberadaan Keraton Banjar sebagai sebuah identitas kekuasaan sultan sebagaimana pada zaman dulu, yang mengarah pada siapa sekarang yang memegang kekuasaan sebagai sultannya yang merupakan pilihan rakyat. Pembangunan keraton Banjar memang dapat melengkapi daya hidup dalam pelestarian budaya Banjar, dengan pandangan baru terhadap kekuasaan yang dulunya dipegang sultan dan adanya kesepakatan baru tentang pewarisan “tahta” kesultanannya.
Dalam pelestarian budaya Banjar sebenarnya karena adanya integrasi dan sinergi yang bergerak maju dari ketiga pilar yang dinyatakan Taufik Arbain sebagai hanya ada tiga pilar pendukung, yaitu: (1) nilai-nilai budaya yang berkembang di masyarakat, (2) aktivitas yang dilakukan pemangku adat, budaya, seniman dan pemerhati budaya, dan (3) penyediaan fasilitas oleh pemerintah (Radar Banjarmasin, 2 Oktober 2010: 9/14). Namun pilar pemerintah daerah terlalu sederhana dan bahkan meremehkan jika hanya dinyatakan penyedia fasilitas, yang mengesankan hanya sebagai pelengkap tanpa campur tangan lebih jauh. Padahal keberadaan pemerintah daerah dapat diartikan sebagai kekuasaan pada zaman sultan dulu. Sehingga ketiga pilar tersebut sebagai realitas sekarang adalah nilai budaya Banjar, masyarakat, dan pemerintah.
Menurut Taufik Arbain bahwa ketiga pilar tersebut belum cukup kuat menopang pelestarian budaya Banjar, sehingga perlu ditambah pilar keempat yaitu Keraton Banjar. Penambahan pilar keempat ini, jika memperhatikan ketiga pilar di atas sebenarnya tidak perlu sebagai pilar keempat, tapi hanya sebagai hasil keputusan dari ketiga pilar tersebut sebagai bangunan pendukung. Karena, jika Keraton Banjar yang akan dibangun dengan uang rakyat dianggap sebagai pilar keempat yang berarti adanya pelekatan kekuasaan terhadap keberadaannya sebagai penopang pelestarian budaya Banjar cenderung mengarah pada pengebirian ketiga pilar yang sebenarnya merupakan pondasi lestarinya budaya Banjar seterusnya. Jadi, tidak perlu ada pilar keempat tersebut, karena tidak lebih dari fasilitas bagi berintegrasi dan bersinerginya ketiga pilar; nilai budaya, masyarakat, dan pemerintah.
Menyatakan Kerator Banjar yang akan dibangun dengan uang rakyat sebagai pilar keempat, yang jika dipahami sebagai simbol kekuasaan sultan sebagaimana zaman dulu, maka tidak salah jika ada yang mengaitkan dan menghubungkan dengan politik. Mereka yang menyatakan atau berpikir keberadaan Keraton Banjar dengan politik dan jalan perebutan kekuasaan tidak berlebihan, tapi hal itu adalah sesuatu yang wajar dan lumrah adanya. Kecuali pembangunan Keraton Banjar dengan uang rakyat diletakkan sebagai bangunan yang dilekatkan pada kekuasaan sekarang (gubernur sebagai sultan), sebagai hasil yang merupakan sinergi dan integrasi dari ketiga pilar; nilai budaya, masyarakat termasuk di dalamnya keturunan darah sultan, dan pemerintah.
Keberadaan Keraton Banjar dapat menunjukkan integritas kebudayaan jika dipandang dengan pandangan realitas sosial saat sekarang. Keberadaan Keraton Jogja dan Solo saat ini juga sudah terus mengarah pada integritas kebudayaan yang mengacu pada realitas sekarang. Menjadikan Keraton Jogja dan Sola sebagai contoh bahwa di era globalisasi sekarang masyarakat masih mendukung penuh adanya kerajaan, kurang tepat dijadikan sebagai pembanding dengan Keraton Banjar (rencana), karena kedua keraton di Jawa tersebut terus hidup dan masih meninggalkan berbagai aset kesultanan hingga sekarang. Sebenarnya, Keraton Jogja dapat dijadikan model mengintegrasikan kekuasaan antara sultan sebagai simbol budaya dengan gubernur (terpilih), yang diangkat setelah yang bersangkutan terpilih sebagai gubernur sehingga tidak melekatkan perdebatan politis atas keberadaan Keraton Banjar.
Jadi, dalam rangka melestarikan budaya Banjar dengan mengupayakan pembangunan Keraton Banjar dari uang rakyat harus dipandang sebagai keputusan yang mengacu pada realitas kekuasaan sekarang. Hal ini tidak mengesampingkan keturunan (darah) kesultanan, karena seluruh masyarakat Kalsel merupakan pewaris dari budaya Banjar yang sah bagaimanapun bentuk kekuasaannya. Pembangunan Keraton Banjar sangat penting untuk pelestarian budaya Banjar, sebagai simbol kekuasaan dalam wujud baru dengan pandangan baru dalam pemaknaannya yang dapat dibanggakan seluruh masyarakat Kalsel. Keraton Banjar yang dibangun dari uang rakyat seharusnya dipandang sebagai simbol kekuasaan rakyat Banjar sekarang, bukan lagi bagian dari kekuasaan masa lalu, sehingga budaya Banjar terus mengalami perkembangan yang dinamis dan maju.

(Radar Banjarmasin, 5 Oktober 2010: 3)

"SULTAN" RUDY ARIFFIN

Oleh: HE. Benyamine

Dalam upaya melestarikan budaya Banjar perlu adanya perhatian semua kalangan, menjadi suatu gerakan bersama masyarakat tanah Banjar (Kalimantan Selatan), yang pada tujuannya untuk kebanggaan bersama. Upaya pelestarian tersebut tidak mengikatkan pada (menghidupkan) kerajaan Banjar yang sudah menjadi bagian dari sejarah perjalanan banua ini, yang tentunya tidak mengacu pada garis keturunan ataupun kekerabatan tertentu, tapi menjadi kepentingan bersama yang dibangun berdasarkan kesamaan kepentingan atas budaya Banjar yang memang mempunyai nilai, norma, dan daya cipta serta karya yang masih hidup hingga sekarang.
Pelestarian budaya Banjar tidak untuk mengingatkan pada perseteruan di dalam kerajaan Banjar pada masanya yang melibatkan berbagai pihak dalam perebutan kekuasaan, yang sebagian anggota keluarga kerajaan ada yang dibuang ke beberapa tempat sebagai bagian yang dikalahkan dan sebagian yang lain bertahta untuk selanjutnya berakhir. Kerajaan Banjar telah menjadi sejarah yang memang seharusnya terus dipelajari dan digali tentang keberadaannya untuk dijadikan pelajaran dan pengajaran tentang kehadiran suatu kekuasaan dan bagaimana kekuasaan itu dijalankan di tanah Banjar. Sehingga, dalam konteks pelestarian budaya perlu dikembangkan tunggak baru yang menjadi pandangan bersama yang bisa dirumuskan oleh pemuka masyarakat yang dibantu para ahli dari berbagai bidang atas dasar kesamaan dan kebersamaan sebagai pewaris budaya Banjar.
Berbagai alternatif dalam upaya pelestarian budaya Banjar perlu didengar dan diperhatikan, seperti pembangunan Taman Budaya Banjar pada suatu lokasi (yang perlu dibicarakan kembali), yang di dalam area taman tersebut dibangun semua tipe rumah Banjar termasuk sebuah istana untuk sultan dan sebuah istana untuk pengeran muda. Begitu juga dengan beragam tumbuhan khas kalimantan harus menjadi bagian dari taman tersebut, yang sekaligus sebagai tempat pelestarian tumbuhan tersebut. Taman Budaya Banjar ini dapat menjadi tempat rekreasi dan darwawisata sekaligus untuk kepentingan pendidikan.
Keberadaan Sultan dan Pangeran Muda sebagai simbol yang tidak terikat dengan garis keturunan darah, yang akan menempati istana yang ada di dalam Taman Budaya Banjar sebagai tempat kegiatan budaya sekaligus tempat peristirahatan, perlu dikedapankan untuk menegaskan tidak ada peluang kepentingan politik tertentu, sehingga penetapannya harus berdasarkan keputusan politik perwakilan rakyat berdasarkan pertimbangan dari berbagai pemuka/tokoh masyarakat yang dibantu ahli dari berbagai bidang dalam hal budayanya.
Untuk menghilangkan kecurigaan atas pelantikan sebagai Sultan dan Pangeran Muda yang dapat dijadikan jalan perebutan kekuasaan, maka siapapun yang terpilih menjadi gubernur dan wakil gubernur secara otomatis diangkat menjadi Sultan dan Pangeran Muda hingga periode kekuasaannya berakhir, dan jika mencalonkan kembali harus melepaskan status sultan dan pangeran mudanya. Sehingga penetapan sultan atau pangeran muda tidak dilakukan sebelum yang bersangkutan berada di puncak kekuasaan yang bisa mengatasnamakan daerah (banua). Di sini, keberadaan sultan dan pangeran muda hanya simbol, yang kebetulan dilekatkan pada orang yang berkuasa sebagaimana sultan pada masanya sebagai penguasa, tetapi status simbol ini berpindah seiring dengan berpindahnya kekuasaan.
Penetapan Sultan dan Pangeran Muda sebagai simbol pemangku pelestarian budaya Banjar kepada gubernur dan wakil gubernur terpilih melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalimantan Selatan adalah perwujudan kehendak rakyat (banua) dalam upaya pelestarian budaya Banjar. Sedangkan para bupati/walikota terpilih beserta wakilnya juga bisa ditentukan simbol kekuasaannya di daerah masing-masing, yang merupakan bagian dari simbol kesultanan, sehingga masing-masing dari mereka juga menempati satu rumah Banjar sesuai kedudukannya di Taman Budaya Banjar.
Berbagai pertujukan dan pergelaran budaya dapat dilaksanakan di Taman Budaya Banjar, begitu juga musyawarah pemangku kepentingan budaya Banjar untuk menentukan strategi pelestarian budaya Banjar. Dengan ditetapkannya gubernur dan wakil gubernur sebagai Sultan dan Pangeran Muda, sebagai tokoh yang sedang memegang kekuasaan, diharapkan dapat memperhatikan gerak budaya dan daya hidup budaya Banjar sebagai sesuatu yang penting dalam kehidupan masyarakat yang terus mengalami dinamika dengan budaya lainnya.
Jadi, penetapan Sultan dan Pangeran Muda kepada gubernur dan wakil gubernur terpilih merupakan suatu langkah yang lebih terhormat dan lebih dapat diterima dalam upaya pelestarian budaya Banjar, sebagai sesuatu upaya pelestarian yang sesuai dengan perkembangan saat ini. Status sultan dan pengeran muda hanya simbol sementara yang dapat diraih oleh semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali, jika yang bersangkutan terpilih jadi gubernur dan wakil gubernur serta status lainnya bagi bupati/wakil dan walikota/wawali, karena sultan dan pangeran muda memang simbol kekuasaan.
Oleh karena itu, gubernur dan wakil gubernur terpilih pada Pemilukada Kalsel 2010, perlu ditetapkan sebagai Sultan dan Pangeran Muda. (Sultan) Rudy Ariffin dan (Pangeran Muda) Rudy Resnawan dapat segera meminta berbagai kalangan dari masyarakat untuk bersama-sama merencanakan pembangunan Taman Budaya Banjar dalam upaya pelestarian budaya Banjar. Jika ada pertemuan secara nasional tentang kerajaan-kerajaan di Nusantara, Sultan atau Pangeran Muda (gubernur atau wakil) yang akan berhadir atau bupati/walikota (wakil) untuk menegaskan pandangan masyarakat Kalsel tentang keberadaan “kerajaan” yang ada sekarang terwujud dari kekuasaan atas pilihan rakyat. (Barelaan sabarataan, maaf lahir batin, selamat Idul Fitri 1431 H).
(Radar Banjarmasin, 14 September 2010: 3)

Cuplikan beberapa komen :

Syarifuddin Rdin :
Perlu banyak pertimbangan dan pemikiran, krn mengenyampingkan peran pemangku budaya/adat atau apapun namanya yang sudah terlanjur berbuat....berdasarkan pola pikir yang sudah diasah.....sesuai pemahaman masing-masing. Jadi harus ada solusinya dulu, yaitu keikhlasan dan kerelaan dari .......

Arsyad Indradi :
Mudah2an banyak gelar Sultan itu Pangeran ini bagi pejabat daerah ini benar2 ada upaya nyata menghidupkan,membina dan melestarikan seni budaya,adat istiadat Banjar yang kian musnah dimakan "rayap". Kita ambil salah satu contohnya, kenyataan... saat ini "istana" kerajaan "Mamanda" sangat memprihatinkan,semakin "barubusan",disamping Rajanya ,Mangkubumi,Kepala Pertanda,Wajir,Harapan Pertama dan Kedua "kucangkirap tidak bergaji" karena jarang sekali ada "orderan". Begitu pula raja "Lamut" sdh tua2 tdk ada regenerasi. Anak2 negeri Banjar banyak yang " tidak tahu dibasa" karena tdk ada pelajaran muatan lokal disekolah mengalokasikan waktu untuk pelajaran adat istiadat,tata krama Banjar (walau ada perda).dan lain-lain dan lain-lain
Orang banyak tdk tau dengan "Arsyad Indradi" sejak th 70 sdh bergelar "Maha Raja Brajapati Alam Gangga Sukma Barjiwa" bertahta di Kerajaan "Ganda Manik Sukalima", duduk di singgasana bertatah yakut jambrut nilam biduri, memakai mahkota emas permata intan berlian.Mun pejabat sekarang ini baru aja bergelar-gelaran.he he he

Ibnu Aan Ansyari :
Tapi wal ai . . . kita perlu hati-hati menggunakan istilah SULTAN.
Terkait upaya handak membangun kembali sejarah dan budaya banjar nang kian musnah dimakan rayap, biar melalui simbol-simbol yang lain haja.

Tato Setyawan :
Setuju dgn komen Abah Arsyad, generasi muda banua era kini byk yg tdk bisa menghargai budaya sendiri. Contoh riil, suatu ketika ditempat saya ada mamanda, krn saya cinta budaya nusantara khususnya budaya lokal maka saya ajak beberapa teman ...utk menyaksikan acara itu, awalnya sy pikir mreka mau ternyata tdk, mrk mnolak ajakan sy sembari tertawa dan sdikit mengejek sembari mengatakan, sy ndeso dan kampunyan. bahkan mrk bilang bgini, "kami yg urang banjar aja koler masa ikam yg jawa suka mlihat mamanda". Aneh ya pandangan mereka. Termasuk ktika saya nonton wayang kulit banjar sampai tuntas, besoknya teman2 sy yg mengetahui itu pada ketawa, katanya sy aneh masa wayang kulit banjar ditonton. Sy justru berpikir sbaliknya, bahwa yg aneh adalah mreka. Bener gak Bang Ben hehehhehe
Terkait note sampean, idealnya memang bgitu, salah satu pilar atau komponen penting yg mampu menyangga kokohnya pondasi budaya lokal adlah pengambil kebijakan yg notabene adlah kpala daerah, di tangan merekalah budaya lokal bisa dijunjung tinggi bersama2 komponen daerah lainnya.

Zulfaisal Putra :
Perlu pertimbangan kuat jika menyangkut gelar-gelar ke bangsawanan. Kondisi kita berbeda dengan keraton di Jawa atau di Bali yang bisa menganugerahkan gelar kebangsawanan kepada artis sekali pun.
Namun, pemikiran Bang Ben ini juga perlu dija...dikan wacana pencerahan.

Minggu, 07 Maret 2010

Wayang Kulit Banjar : Akankah Bisa Bertahan Hidup Di Era Globalisasi ini ?



oleh : Arsyad Indradi.

Pertunjukkan lakon wayang kulit telah menjalani proses hidup dari zaman ke zaman.
Pada masa kejayaan Agama Hindu dan Budha, wayang kulit adalah santapan rohani bagi penganutnya yang dibawakan oleh para biku atau pun biksu yang berpusat di Candi Penataran di Jawa Timur. Cerita yang dibawakan adalah cerita Ramayana yang disusun oleh Walmiki dan Mahabharata yang disusun oleh Wiyasa.
Pada abad XVI , wayang kulit mengalami perubahan dan pembaharuan dalam segi makna dan sifatnya setelah Kesultanan Demak mengembangkan Agama Islam di tanah Jawa. Seorang dari Wali Sanga yang bernama Sunan Kalijaga menghapus sifat magis wayang, karena wayang bukanlah gambaran wajah roh nenek moyang yang memiliki kekuatan magis, tetapi hanya merupakan gambaran wajah tokoh cerita.
Sunan Kalijaga tidak hanya mempergelarkan lakon – lakon Ramayana ataupun Mahabharata tetapi juga mempergelarkan cerita – cerita rakyat Jawa. Dan wayang yang berupa upacara keagamaan dan pemujaan Dewa dengan cara yang rapi ditinggalkan dan menciptakan wayang Punakawan ( Semar, Petruk, Gareng dan Bagong ) dengan dagelannya sehingga para penganut agama Hindu dan Budha yang menonton wayang Triwali itu merasa lebih tertarik dari pada wayang Hindu yang membawa cerita, monoton dan membosankan. Disamping itu, tokoh Darmakasuma mempunyai ajimat Kalimasada yang pada wayang Hindu tidak ada. Yang lebih menarik lagi, dalang Triwali menggubah cerita carangan, yaitu cerita di luar ‘pakem’.
Bagaimana wayang kulit di tanah Banjar ?
Seiring masuknya agama Islam dan senibudaya dari Kerajaan Demak, setelah Raja Banjar Pangeran Suriansyah mengucapkan Duakalimahsahadat, di abad XVI itu, kesenian wayang kulit mulai diperkenalkan dan berkembang hidup di tanah Banjar.
Para dalang Banjar masih tetap sebagai pewaris Triwali, wayang kulit sebagai media da’wah agama Islam dan dimana pagelaran wayang kulit merupakan penuntun berbuat kebaikan, kebenaran, keadilan, kejujuran, dan patriotisme.
Dalam perkembangan wayang kulit di tanah Banjar, ada pagelaran wayang kulit berupa ‘manyampir’ namun ‘sampir’ ini oleh dalang yang beragama Islam bukanlah ’haul’ atau memperingati para arwah nenek moyang dengan segala sesajennya melainkan upacara selamatan yakni menghaul nenek moyang dan ‘tulak bala’, dengan doa selamat dan doa arwah.
Pertunjukkan wayang kulit sangat digemari oleh rakyat ( masyarakat ) Banjar. Jika ada acara hari besar baik nasional maupun daerah, acara perkawinan atau pun acara lainnya, pertunjukan wayang tak luput dari penonton yang berlimpah ruah. Penontonnya tentu saja beragam, orang – tua, dewasa, remaja bahkan anak – anak. Apalagi jika dalangnya ‘Tulur’ ( dari desa Barikin Kabupaten Hulu Sungai Tengah ) seorang dalang senior yang sangat terampil memainkan wayang dan menuturkan cerita. Seorang dalang yang konon dapat mengusir hujan manakala sedang berlangsung pertunjukkan wayang kulit. Setelah dalang Tulur meninggal, dalang ‘Utuh Aini ( dari Banjarmasin ) melanjutkan kehidupan wayang. Dalang Utuh Aini meninggal, dilanjutkan oleh dalang Rundi, Busrajuddin dan Pedalang lainnya..
Namun tampaknya beberapa tahun ini kehidupan wayang kulit Banjar semakin berkurang penontonnya dan kekhawatiran matinya wayang Banjar sangat beralasan.
Di era globalosasi ini, peradaban manusia semakin bergeser dari porosnya, ilmu pengetahuan dan teknologi semakin maju. Maka apakah wayang kulit masih bertahan pada paradigma lama ? Wayang kulit seyogyanyalah merubah sikap, meninggalkan paradigma lama itu, pandai mengikuti perkembangan zaman dan lebih lagi berani bersaing dengan tayangan yang ada di TV atau pun di tempat pertunjukkan lainnya.
Dalam hal ini, Pedalang itu sendiri harus inovatif. Merenovasi seluruh keberadaan wayang kulit seperti belincongnya memakai lampu listrik, kelir yang berornamen indah dan selalu diganti kalau sudah kadaluarsa, sound systim yang memadai apalagi kalau bisa yang canggih, dalang dan seluruh crew penabuh gamelannya berkostum seragam daerah Banjar. Dari sisi irama musik, agar tidak monoton, disamping lagu yang ada seperti lagu lasam sepuluh ( sebagai pembuka dari dalang ), lagu ayakan, lagu paparangan ancap dan paparangan alun, dan lagu liong perlu mengaransir lagu lain sebagai pemerkaya irama musik untuk plot atau suasana cerita. Perangkat gamelan selalu distim agar menghasilkan paduan musik yang harmonis. Perletakkan jejer wayang di atas gadang ( gedebuk ) benar – benar artistik. Dan tak kalah pentingnya selalu menciptakan cerita sesuai dengan tuntutan zaman namun tidak lepas dari pakemnya.
Umumnya pertunjukkan wayang adalah semalam suntuk. Tetapi ini perlu juga kita petimbangkan. Seperti halnya pertunjukan teater teradisional “ Mamanda “. Pertunjukkan Mamanda dapat menuntaskan cerita dalam durasi dua atau tiga jam. Alhasil, setiap pertunjukkan Mamanda selalu berjobel penontonnya.
Nah, bagaimana pertunjukkan wayang ?
Ada beberapa solusi lain untuk kembali menggairahkan kehidupan wayang kulit Banjar. Tentu saja ini ada kaitannya dengan PEPADI Komda Tingkat I Kalimantan Selatan. PEPADI perlu merancang program kerja dan melaksanakannya seperti sarasehan, seminar, diskusi tentang wayang Banjar atau bentuk lainnya. PEPADI sedini mungkin menyiapkan kader – kader Pedalang dan penabuh gamelan baik tingkat anak – anak sampai tingkat dewasa seperti mengadakan work shop dalang atau khusus pelatihan menyindin dan teknik memainkan wayang dan berupaya memproduksi wayang.
Dan adanya kerja sama yang baik ( program terpadu ) antara Disparsenibud, Dewan Kesenian ( andai ada yang masih hidup ) dan PEPADI seperti menyelenggarakan Festival pertunjukkan wayang kulit, lomba mendalang baik tingkat anak – anak sampai tingkat dewasa, lomba menyindin, lomba mengarang cerita wayang, dan mengadakan pagelaran wayang kulit pada acara perayaan misalnya hari besar nasional dan daerah. DPRD, Gubernur, Bupati dan Walikota sebagai fasilitator yang selalu memback up finansialnya.
Disamping itu tak ketinggalan masyarakat Banjarnya. Masyarakat Banjar tetap menumbuhkan kepedulian dan kecintaan terhadap wayang sebab seni wayang adalah salah satu khasanah senibudaya daerahnya dan salah satu pusaka peninggalan ‘urang bahari’ nang harus kita partahanakan sampai kamati. Semoga.******

Wayang Orang Banjar : Mengapa Dinamakan Wayang Gung ?


Oleh : Arsyad Indradi

Kalau kita runut dari beberapa arti yang berkembang kata wayang berarti bayang – bayang.. Wayang Kulit, yang kita saksikan adalah bayang – bayang dari wayang itu dari balik kelir yang dihidupkan oleh blincong ( lampu ). Namun dalam perkembangannya lahir sebuah bentuk kesenian baru yaitu Wayang Orang. Wayang dilakonkan oleh orang. Di Jawa dikenal dengan Wayang Wong.
Mengapa wayang orang di Tanah Banjar dinamakan “ Wayang Gung “ ? Secara analogi mungkin Wayang Gung itu sebagai bentuk lain dari Wayang Gong di Jawa atau terjadi perubahan bunyi “ W “ ke “ G “ pada kata “ Wong “ dan “ Gung “. Tetapi berubahan bunyi tersebut kecil kemungkinannya sebab tidak ada peristiwa bahasa yang mirip seperti itu. Dan kedua kata “ Wong “ ( Jawa ) dan “ Gung “ ( Banjar ) tidak memiliki hubungan makna.sama sekali. Kata “ Gung “ dalam bahasa Banjar adalah salah satu instrumen gamelan Banjar yakni “ Agung “. Bunyi agung ini adalah sebagai penutup irama dari bunyi – bunyian instrumen gamelan tersebut. Ada kemungkinan, gerak igal ( tari ) dalam Wayang Gung sangat ditentukan oleh satuan bunyi pukulan agung, sehingga ada kecenderungan penyebutan Wayang Gung ini sebagai pengaruh gerakan pelakonnya yang mendasarkan gerakannya pada bunyi “ Gung “.
Gung ( Agung ) dalam budaya Banjar, dianggap keramat. Konon, Lambung Mangkurat pergi ke Kerajaan Majapahit meminta Putra Majapahit yang bernama Raden Putera, yang sebenarnya tidak berwujud manusia, yang akan dijadikan suami Putri Junjuung Buih di Kerajaan Negara Dipa. Sesampainya di Kerajaan Dipa, Raden Putera memasuki istana dengan “ bajajak “ ( berpijak ) di atas agung. Seketika itu Raden Putera berubah wujud menjadi manusia yang sempurna berwajah tampan, yang kemudian berganti nama yaitu Pangeran Surianata. Sejak saat itu “ Gung “ dipandang memiliki mitos sebagai alat menjelmakan Raden Putera yang tidak berwujud manusia hingga menjadi manusia yang sempurna.
Jadi kemungkinan besar sebutan Wayang Gung ini ada kaitan erat dengan pengaruh gerakan pelakon Wayang Gung yang berdasarkan gerarakannya pada bunyi “ Gung “ dan juga ada hubungan makna “ Gung “ pada peristiwa Raden Putera menjadi orang ( manusia ).di samping ada kemungkinan lain bahwa adanya pengejawantahan tokoh – tokoh dengan karakter yang “ Agung “ { besar ) pada Wayang Gung. Tokoh Agung ini sebagai simbol kebaikan yang dapat mengalahkan keangkaramurkaan. Dengan tiga tesa ini sebutan “ Wayang Gung “ populer di dalam masyarakat Banjar. *******

Wayang Gong Selayang Pandang



Oleh : Arsyad Indradi

Diperkirakan munculnya kesenian Wayang Gung di Tanah Banjar pada abad ke XVIII atau sekitar tahun 1760 M. Raja Banjar mempunyai hubungan erat dengan raja – raja di Pulau Jawa terutama Demak dan Mataram, sekitar abad ke XV. Hubungan inilah kesenian dan kebudayaan Jawa masuk ke Kalimantan. Kesenian ini antara lain adalah Wayang Orang.
Wayang Orang ( Wayang Wong – Jawa ) sangat berkenan di hati suku – suku Kalimantan khususnya masyarakat Banjar.
Bermula, kesenian wayang hidup hanya di Keraton Banjar saja, namun lama kelamaan wayang ini menyebar ke luar keraton yaitu ke masyarakat Banjar secara meluas. Menyebarnya Wayang Orang ini karena masyarakat Banjar memandang Wayang sebagai lambang hidup dan kehidupan manusia. Wayang mempunyai unsur – unsur filosofis hidup dan kehidupan, memiliki bahasa simbol yang bersifat kerohanian. Apalagi Wayang Purwa yangt berkembang itu adalah memiliki mitos Sunan Kalijaga yang berbermuatan ajaran filsafat Islam. Masyarakat Banjar adalah umumnya masyarakat Melayu Banjar yang beragama Islam tak heran kesenian Wayang cepat berkembang di masyakarat Banjar ini.
Wayang Orang yang dikenal dalam masyarakat Banjar adalah Wayang Gung. Wayang Gung merupakan kreativitas kreator “ Dalang Banjar “ dari adaptasi Wayang Wong. Wayang Gung pada akhirnya mempunyai ciri khas atau versi Banjar, dari segi teknik garapan , gamelan, kostum, propertis, gerak igal ( tari ), bahasa pengantar dan struktur pergelaran, walapun masih ada idiom – idiom dari Wayang Wong ( Jawa ).

Wayang Gung mempunyai lima fungsi yaitu :

Pertama, sebagai hiburan. Wayang Gung dipergelarkan manakala acara hiburan peringatan
hari – hari besar baik nasional maupun daerah, acara perkawinan dan paska panen padi.
Kedua, fungsi Didaktis. Wayang Gung merupakan media strategis untuk menyampaikan pesan – pesan yang bersifat edukatif pada masyarakat Banjar.
Ketiga, berfungsi Filosofis. Wayang Gung banyak memiliki ajaran-ajaran mistis dalam kehidupan manusia. Mistis ini bersifat filosofis yakni berhubungan keduniaan ( lahiriah ) dan mental spritual ( batiniah ). Orang menyaksikan pertunjukan Lakon Wayang Gung sebagai refleksi diri. Banyak falsafah dan bahasa simbol hidup dan kehidupan yang dapat dipetik untuk kesadaran batin. Mitos ini diejawantahkan dalam hidup dan kehidupan sehari – hari.
Keempat, berfungsi Nazar. Pertunjukan Wayang Gung atas permintaan seseorang atas terkabulnya maksud atau rencana seseorang itu. Nazar ini harus dipenuhi, menurut kepercayaan masyakarat Banjar kalau tidak dipenuhi akan terjadi malapetaka bagi penazarnya.
Kelima, berfungsi ritual ( magis ). Wayang Gung diselenggarakan untuk maksud mengusir penyakit atau pun bencana.

Dalam pergelaran Wayang Gung mempunyai bentuk empat struktur babakan. Babakan ini merupan inti struktur alur. Struktur babakan ini yaitu :

Pertama, Mamucukani. Yaitu babakan tuturan permulaan kisah dalam bentuk sindin. dan dialog. Ada tiga dalang yang terdiri dari Dalang Sejati, Dalang Pangambar dan Dalang Utusan. Fungsi Dalang Pangambar dan Dalang Utusan adalah melengkapi tutur dari Dalang Sejati.
Kedua, Sidang Jajar. Adalah babakan sidang Kerajaan dari para satria kerajaan membahas suatu peristiwa yang berhubungan dengan masalah – masalah yang dihadapi kerajaan tersebut.
Ketiga, Konflik. Dalam babakan ketiga ini perang atau pertempuran antara tokoh baik dengan tokoh jahat.
Keempat, Bapacah. Adalah babakan antiklimak dari konflik. Biasanya dalam Wayang Gung selalu disajikan happy Ending atau kemenangan dipihat kebaikan.

Wayang Gung umumnya mengangkat cerita dari epos Ramayana tetapi ada juga menyajikan seperti tarian daerah atau dialog – dialog yang bersipat humor, dan memasukkan unsur pesan – pesan lain yang bersifat carangan yang disesuaikan dengan suasana penonton.
Umumnya pelakon dari Wayang Gung merupakan pelakon yang khusus artinya setiap tokoh dilakonkan oleh pelakon tertentu. Misalnya tokoh Hanoman dilakonkan oleh seseorang yang benar – benar menggeluti dan menghayati perilaku atau karakter tokoh Hanoman. Begitu juga tokoh Dasamuka ( Rahwana ) dilakonkan oleh pelakon tertentu dan seterusnya. Tak jarang kelompok Wayang Gung mengambil pelakon dari kelompok Wayang Gung yang lain karena pelakonnya berhalangan. Oleh karena itu kelompok Wayang Gung yang terkenal karena kelompok ini banyak mempunyai pelakon yang khusus atau pelakon yang profisional.
Kalau kita amati sejarah perjalanan Wayang Gung Banjar di Kalimantan khususnya Kalimantan Selatan, sudah dua abad umurnya. Dengan usia yang panjang ini Wayang Gung telah memperkaya khasanah seni tradisional di Kalimantan khususnya masyarakat Banjar Kalimantan Selatan. Maka Wayang Gung perlu diwariskan dengan generasi masa kini agar mereka tidak terserabut dari akar budaya nenek moyangnya. Tampaknya, di era globalisasi ini nasibnya tak berbeda dengan Wayang Kulit Banjar yang kian hari kian dilupakan orang, pada gilirannya tak mustahil akan musnah ditelan zaman. Siapa yang bertanggung jawab ? ***