Minggu, 07 Maret 2010

Wayang Kulit Banjar : Akankah Bisa Bertahan Hidup Di Era Globalisasi ini ?



oleh : Arsyad Indradi.

Pertunjukkan lakon wayang kulit telah menjalani proses hidup dari zaman ke zaman.
Pada masa kejayaan Agama Hindu dan Budha, wayang kulit adalah santapan rohani bagi penganutnya yang dibawakan oleh para biku atau pun biksu yang berpusat di Candi Penataran di Jawa Timur. Cerita yang dibawakan adalah cerita Ramayana yang disusun oleh Walmiki dan Mahabharata yang disusun oleh Wiyasa.
Pada abad XVI , wayang kulit mengalami perubahan dan pembaharuan dalam segi makna dan sifatnya setelah Kesultanan Demak mengembangkan Agama Islam di tanah Jawa. Seorang dari Wali Sanga yang bernama Sunan Kalijaga menghapus sifat magis wayang, karena wayang bukanlah gambaran wajah roh nenek moyang yang memiliki kekuatan magis, tetapi hanya merupakan gambaran wajah tokoh cerita.
Sunan Kalijaga tidak hanya mempergelarkan lakon – lakon Ramayana ataupun Mahabharata tetapi juga mempergelarkan cerita – cerita rakyat Jawa. Dan wayang yang berupa upacara keagamaan dan pemujaan Dewa dengan cara yang rapi ditinggalkan dan menciptakan wayang Punakawan ( Semar, Petruk, Gareng dan Bagong ) dengan dagelannya sehingga para penganut agama Hindu dan Budha yang menonton wayang Triwali itu merasa lebih tertarik dari pada wayang Hindu yang membawa cerita, monoton dan membosankan. Disamping itu, tokoh Darmakasuma mempunyai ajimat Kalimasada yang pada wayang Hindu tidak ada. Yang lebih menarik lagi, dalang Triwali menggubah cerita carangan, yaitu cerita di luar ‘pakem’.
Bagaimana wayang kulit di tanah Banjar ?
Seiring masuknya agama Islam dan senibudaya dari Kerajaan Demak, setelah Raja Banjar Pangeran Suriansyah mengucapkan Duakalimahsahadat, di abad XVI itu, kesenian wayang kulit mulai diperkenalkan dan berkembang hidup di tanah Banjar.
Para dalang Banjar masih tetap sebagai pewaris Triwali, wayang kulit sebagai media da’wah agama Islam dan dimana pagelaran wayang kulit merupakan penuntun berbuat kebaikan, kebenaran, keadilan, kejujuran, dan patriotisme.
Dalam perkembangan wayang kulit di tanah Banjar, ada pagelaran wayang kulit berupa ‘manyampir’ namun ‘sampir’ ini oleh dalang yang beragama Islam bukanlah ’haul’ atau memperingati para arwah nenek moyang dengan segala sesajennya melainkan upacara selamatan yakni menghaul nenek moyang dan ‘tulak bala’, dengan doa selamat dan doa arwah.
Pertunjukkan wayang kulit sangat digemari oleh rakyat ( masyarakat ) Banjar. Jika ada acara hari besar baik nasional maupun daerah, acara perkawinan atau pun acara lainnya, pertunjukan wayang tak luput dari penonton yang berlimpah ruah. Penontonnya tentu saja beragam, orang – tua, dewasa, remaja bahkan anak – anak. Apalagi jika dalangnya ‘Tulur’ ( dari desa Barikin Kabupaten Hulu Sungai Tengah ) seorang dalang senior yang sangat terampil memainkan wayang dan menuturkan cerita. Seorang dalang yang konon dapat mengusir hujan manakala sedang berlangsung pertunjukkan wayang kulit. Setelah dalang Tulur meninggal, dalang ‘Utuh Aini ( dari Banjarmasin ) melanjutkan kehidupan wayang. Dalang Utuh Aini meninggal, dilanjutkan oleh dalang Rundi, Busrajuddin dan Pedalang lainnya..
Namun tampaknya beberapa tahun ini kehidupan wayang kulit Banjar semakin berkurang penontonnya dan kekhawatiran matinya wayang Banjar sangat beralasan.
Di era globalosasi ini, peradaban manusia semakin bergeser dari porosnya, ilmu pengetahuan dan teknologi semakin maju. Maka apakah wayang kulit masih bertahan pada paradigma lama ? Wayang kulit seyogyanyalah merubah sikap, meninggalkan paradigma lama itu, pandai mengikuti perkembangan zaman dan lebih lagi berani bersaing dengan tayangan yang ada di TV atau pun di tempat pertunjukkan lainnya.
Dalam hal ini, Pedalang itu sendiri harus inovatif. Merenovasi seluruh keberadaan wayang kulit seperti belincongnya memakai lampu listrik, kelir yang berornamen indah dan selalu diganti kalau sudah kadaluarsa, sound systim yang memadai apalagi kalau bisa yang canggih, dalang dan seluruh crew penabuh gamelannya berkostum seragam daerah Banjar. Dari sisi irama musik, agar tidak monoton, disamping lagu yang ada seperti lagu lasam sepuluh ( sebagai pembuka dari dalang ), lagu ayakan, lagu paparangan ancap dan paparangan alun, dan lagu liong perlu mengaransir lagu lain sebagai pemerkaya irama musik untuk plot atau suasana cerita. Perangkat gamelan selalu distim agar menghasilkan paduan musik yang harmonis. Perletakkan jejer wayang di atas gadang ( gedebuk ) benar – benar artistik. Dan tak kalah pentingnya selalu menciptakan cerita sesuai dengan tuntutan zaman namun tidak lepas dari pakemnya.
Umumnya pertunjukkan wayang adalah semalam suntuk. Tetapi ini perlu juga kita petimbangkan. Seperti halnya pertunjukan teater teradisional “ Mamanda “. Pertunjukkan Mamanda dapat menuntaskan cerita dalam durasi dua atau tiga jam. Alhasil, setiap pertunjukkan Mamanda selalu berjobel penontonnya.
Nah, bagaimana pertunjukkan wayang ?
Ada beberapa solusi lain untuk kembali menggairahkan kehidupan wayang kulit Banjar. Tentu saja ini ada kaitannya dengan PEPADI Komda Tingkat I Kalimantan Selatan. PEPADI perlu merancang program kerja dan melaksanakannya seperti sarasehan, seminar, diskusi tentang wayang Banjar atau bentuk lainnya. PEPADI sedini mungkin menyiapkan kader – kader Pedalang dan penabuh gamelan baik tingkat anak – anak sampai tingkat dewasa seperti mengadakan work shop dalang atau khusus pelatihan menyindin dan teknik memainkan wayang dan berupaya memproduksi wayang.
Dan adanya kerja sama yang baik ( program terpadu ) antara Disparsenibud, Dewan Kesenian ( andai ada yang masih hidup ) dan PEPADI seperti menyelenggarakan Festival pertunjukkan wayang kulit, lomba mendalang baik tingkat anak – anak sampai tingkat dewasa, lomba menyindin, lomba mengarang cerita wayang, dan mengadakan pagelaran wayang kulit pada acara perayaan misalnya hari besar nasional dan daerah. DPRD, Gubernur, Bupati dan Walikota sebagai fasilitator yang selalu memback up finansialnya.
Disamping itu tak ketinggalan masyarakat Banjarnya. Masyarakat Banjar tetap menumbuhkan kepedulian dan kecintaan terhadap wayang sebab seni wayang adalah salah satu khasanah senibudaya daerahnya dan salah satu pusaka peninggalan ‘urang bahari’ nang harus kita partahanakan sampai kamati. Semoga.******

Wayang Orang Banjar : Mengapa Dinamakan Wayang Gung ?


Oleh : Arsyad Indradi

Kalau kita runut dari beberapa arti yang berkembang kata wayang berarti bayang – bayang.. Wayang Kulit, yang kita saksikan adalah bayang – bayang dari wayang itu dari balik kelir yang dihidupkan oleh blincong ( lampu ). Namun dalam perkembangannya lahir sebuah bentuk kesenian baru yaitu Wayang Orang. Wayang dilakonkan oleh orang. Di Jawa dikenal dengan Wayang Wong.
Mengapa wayang orang di Tanah Banjar dinamakan “ Wayang Gung “ ? Secara analogi mungkin Wayang Gung itu sebagai bentuk lain dari Wayang Gong di Jawa atau terjadi perubahan bunyi “ W “ ke “ G “ pada kata “ Wong “ dan “ Gung “. Tetapi berubahan bunyi tersebut kecil kemungkinannya sebab tidak ada peristiwa bahasa yang mirip seperti itu. Dan kedua kata “ Wong “ ( Jawa ) dan “ Gung “ ( Banjar ) tidak memiliki hubungan makna.sama sekali. Kata “ Gung “ dalam bahasa Banjar adalah salah satu instrumen gamelan Banjar yakni “ Agung “. Bunyi agung ini adalah sebagai penutup irama dari bunyi – bunyian instrumen gamelan tersebut. Ada kemungkinan, gerak igal ( tari ) dalam Wayang Gung sangat ditentukan oleh satuan bunyi pukulan agung, sehingga ada kecenderungan penyebutan Wayang Gung ini sebagai pengaruh gerakan pelakonnya yang mendasarkan gerakannya pada bunyi “ Gung “.
Gung ( Agung ) dalam budaya Banjar, dianggap keramat. Konon, Lambung Mangkurat pergi ke Kerajaan Majapahit meminta Putra Majapahit yang bernama Raden Putera, yang sebenarnya tidak berwujud manusia, yang akan dijadikan suami Putri Junjuung Buih di Kerajaan Negara Dipa. Sesampainya di Kerajaan Dipa, Raden Putera memasuki istana dengan “ bajajak “ ( berpijak ) di atas agung. Seketika itu Raden Putera berubah wujud menjadi manusia yang sempurna berwajah tampan, yang kemudian berganti nama yaitu Pangeran Surianata. Sejak saat itu “ Gung “ dipandang memiliki mitos sebagai alat menjelmakan Raden Putera yang tidak berwujud manusia hingga menjadi manusia yang sempurna.
Jadi kemungkinan besar sebutan Wayang Gung ini ada kaitan erat dengan pengaruh gerakan pelakon Wayang Gung yang berdasarkan gerarakannya pada bunyi “ Gung “ dan juga ada hubungan makna “ Gung “ pada peristiwa Raden Putera menjadi orang ( manusia ).di samping ada kemungkinan lain bahwa adanya pengejawantahan tokoh – tokoh dengan karakter yang “ Agung “ { besar ) pada Wayang Gung. Tokoh Agung ini sebagai simbol kebaikan yang dapat mengalahkan keangkaramurkaan. Dengan tiga tesa ini sebutan “ Wayang Gung “ populer di dalam masyarakat Banjar. *******

Wayang Gong Selayang Pandang



Oleh : Arsyad Indradi

Diperkirakan munculnya kesenian Wayang Gung di Tanah Banjar pada abad ke XVIII atau sekitar tahun 1760 M. Raja Banjar mempunyai hubungan erat dengan raja – raja di Pulau Jawa terutama Demak dan Mataram, sekitar abad ke XV. Hubungan inilah kesenian dan kebudayaan Jawa masuk ke Kalimantan. Kesenian ini antara lain adalah Wayang Orang.
Wayang Orang ( Wayang Wong – Jawa ) sangat berkenan di hati suku – suku Kalimantan khususnya masyarakat Banjar.
Bermula, kesenian wayang hidup hanya di Keraton Banjar saja, namun lama kelamaan wayang ini menyebar ke luar keraton yaitu ke masyarakat Banjar secara meluas. Menyebarnya Wayang Orang ini karena masyarakat Banjar memandang Wayang sebagai lambang hidup dan kehidupan manusia. Wayang mempunyai unsur – unsur filosofis hidup dan kehidupan, memiliki bahasa simbol yang bersifat kerohanian. Apalagi Wayang Purwa yangt berkembang itu adalah memiliki mitos Sunan Kalijaga yang berbermuatan ajaran filsafat Islam. Masyarakat Banjar adalah umumnya masyarakat Melayu Banjar yang beragama Islam tak heran kesenian Wayang cepat berkembang di masyakarat Banjar ini.
Wayang Orang yang dikenal dalam masyarakat Banjar adalah Wayang Gung. Wayang Gung merupakan kreativitas kreator “ Dalang Banjar “ dari adaptasi Wayang Wong. Wayang Gung pada akhirnya mempunyai ciri khas atau versi Banjar, dari segi teknik garapan , gamelan, kostum, propertis, gerak igal ( tari ), bahasa pengantar dan struktur pergelaran, walapun masih ada idiom – idiom dari Wayang Wong ( Jawa ).

Wayang Gung mempunyai lima fungsi yaitu :

Pertama, sebagai hiburan. Wayang Gung dipergelarkan manakala acara hiburan peringatan
hari – hari besar baik nasional maupun daerah, acara perkawinan dan paska panen padi.
Kedua, fungsi Didaktis. Wayang Gung merupakan media strategis untuk menyampaikan pesan – pesan yang bersifat edukatif pada masyarakat Banjar.
Ketiga, berfungsi Filosofis. Wayang Gung banyak memiliki ajaran-ajaran mistis dalam kehidupan manusia. Mistis ini bersifat filosofis yakni berhubungan keduniaan ( lahiriah ) dan mental spritual ( batiniah ). Orang menyaksikan pertunjukan Lakon Wayang Gung sebagai refleksi diri. Banyak falsafah dan bahasa simbol hidup dan kehidupan yang dapat dipetik untuk kesadaran batin. Mitos ini diejawantahkan dalam hidup dan kehidupan sehari – hari.
Keempat, berfungsi Nazar. Pertunjukan Wayang Gung atas permintaan seseorang atas terkabulnya maksud atau rencana seseorang itu. Nazar ini harus dipenuhi, menurut kepercayaan masyakarat Banjar kalau tidak dipenuhi akan terjadi malapetaka bagi penazarnya.
Kelima, berfungsi ritual ( magis ). Wayang Gung diselenggarakan untuk maksud mengusir penyakit atau pun bencana.

Dalam pergelaran Wayang Gung mempunyai bentuk empat struktur babakan. Babakan ini merupan inti struktur alur. Struktur babakan ini yaitu :

Pertama, Mamucukani. Yaitu babakan tuturan permulaan kisah dalam bentuk sindin. dan dialog. Ada tiga dalang yang terdiri dari Dalang Sejati, Dalang Pangambar dan Dalang Utusan. Fungsi Dalang Pangambar dan Dalang Utusan adalah melengkapi tutur dari Dalang Sejati.
Kedua, Sidang Jajar. Adalah babakan sidang Kerajaan dari para satria kerajaan membahas suatu peristiwa yang berhubungan dengan masalah – masalah yang dihadapi kerajaan tersebut.
Ketiga, Konflik. Dalam babakan ketiga ini perang atau pertempuran antara tokoh baik dengan tokoh jahat.
Keempat, Bapacah. Adalah babakan antiklimak dari konflik. Biasanya dalam Wayang Gung selalu disajikan happy Ending atau kemenangan dipihat kebaikan.

Wayang Gung umumnya mengangkat cerita dari epos Ramayana tetapi ada juga menyajikan seperti tarian daerah atau dialog – dialog yang bersipat humor, dan memasukkan unsur pesan – pesan lain yang bersifat carangan yang disesuaikan dengan suasana penonton.
Umumnya pelakon dari Wayang Gung merupakan pelakon yang khusus artinya setiap tokoh dilakonkan oleh pelakon tertentu. Misalnya tokoh Hanoman dilakonkan oleh seseorang yang benar – benar menggeluti dan menghayati perilaku atau karakter tokoh Hanoman. Begitu juga tokoh Dasamuka ( Rahwana ) dilakonkan oleh pelakon tertentu dan seterusnya. Tak jarang kelompok Wayang Gung mengambil pelakon dari kelompok Wayang Gung yang lain karena pelakonnya berhalangan. Oleh karena itu kelompok Wayang Gung yang terkenal karena kelompok ini banyak mempunyai pelakon yang khusus atau pelakon yang profisional.
Kalau kita amati sejarah perjalanan Wayang Gung Banjar di Kalimantan khususnya Kalimantan Selatan, sudah dua abad umurnya. Dengan usia yang panjang ini Wayang Gung telah memperkaya khasanah seni tradisional di Kalimantan khususnya masyarakat Banjar Kalimantan Selatan. Maka Wayang Gung perlu diwariskan dengan generasi masa kini agar mereka tidak terserabut dari akar budaya nenek moyangnya. Tampaknya, di era globalisasi ini nasibnya tak berbeda dengan Wayang Kulit Banjar yang kian hari kian dilupakan orang, pada gilirannya tak mustahil akan musnah ditelan zaman. Siapa yang bertanggung jawab ? ***