Jumat, 22 Oktober 2010

Keraton Banjar, Permendagri 39/2007, dan Pelestarian Budaya


oleh Sainul Hermawan

Akhir-akhir ini (sejak September 2010) ada perbincangan menarik di kalangan pemerhati budaya di Kalimantan Selatan (Kalsel) tentang pelestarian budaya Banjar kontemporer di tengah rendahnya perhatian pemerintah yang seharusnya merawatnya. Pembicaraan tersebut dipicu oleh rencana bupati Banjar yang ingin membangun replika keraton Banjar sebagai salah satu upaya pelestarian budaya. Pemkab Banjar di lamannya telah melakukan jajak pendapat tentang lokasi idealnya. Sampai 10 Oktober 2010, telah terkumpul 260 suara yang 65% setuju lokasinya di Kabupaten Banjar. Untuk mendapatkan gambaran otentik dari rencana tersebut kita bisa lihat di website Lembaga Adat dan Kekerabatan Kesultanan Banjar (LAKKB)[1]
Ada pernyataan menarik di laman itu untuk dicermati dengan seksama oleh masyarakat Banjar, terkait dengan dasar hukum rencana pembangunan itu, yaitu Permendagri Nomor 39 Tahun 2007. Selengkapnya, kutipan berita di laman itu sebagai berikut:
Bupati Banjar juga menyebutkan, dia sudah menyiapkan lahan seluas 2 hektar sebagai areal pembangunan Keraton Banjar. Terkait dengan pembangunan Keraton Banjar, berdasarkan Permendagri Nomor 39 Tahun 2007 tentang pedoman fasilitasi organisasi kemasyarakatan bidang kebudayaan, keraton dan lembaga adat dalam pelestarian dan pengembangan budaya daerah, memuat pernyataan bahwa pembangunan keraton, lembaga adat, bisa didanai oleh pemerintah melalui APBD.
Berapakah biaya pembangunan istana atau keraton Kesultanan Banjar? “Pembangunan Keraton Banjar oleh provinsi, tanahnya oleh Kabupaten Banjar. Dananya juga dianggarkan provinsi. Berapa biayanya, saya tidak tahu. Ini urusan Balitbang Kalsel, kalau kurang ditambah dengan APBN atau perantau Banjar di luar negeri dan luar daerah yang berjanji membantu mewujudkan pembangunannya. Pembangunan Keraton Banjar akan mengacu pada rumah Banjar. Realisasi pembangunannya 2011,” papar Khairul Saleh, yang belum lama tadi diangkat sebagai ketua Forum Silaturahmi Kesultanan se Nusantara (FSKN) wilayah Kalsel.
Jika dibaca sepintas, Permendagri yang disebutkan tersebut seakan menjadi dasar hukum pembangunan keraton, tapi bacalah sendiri dengan seksama bahwa Permendagri itu bukan dasar untuk membangun keraton. Bunyi pertimbangan dikeluarkannya peraturan menteri ini dapat dibaca pada butir d yang berbunyi: bahwa organisasi kemasyarakatan bidang kebudayaan, keraton, dan lembaga adat di daerah memiliki potensi besar untuk berperanserta dalam pengembangan dan pelestarian adat budaya. Artinya, peraturan ini menjadi dasar bagi yang telah memiliki keraton untuk mengembangkan kegiatan budaya, bukan untuk mendirikan keraton yang telah musnah. Dalam Permendagri tersebut tidak ada pernyataan bahwa pembangunan keraton, lembaga adat, bisa didanai oleh pemerintah melalui APBD. Pernyataan ini adalah tafsiran yang sangat arbitrer terhadap maksud pasal 10.
Dalam pasal 10 ayat 1 dinyatakan: Penyelenggaraan kegiatan pelestarian dan pengembangan budaya daerah yang melibatkan ormas kebudayaan, keraton dan lembaga adat didukung pendanaannya dari anggaran pendapatan dan belanja daerah propinsi dan/atau kabupaten/kota, serta sumber-sumber lain yang sah. Dengan kata lain, provinsi hanya boleh mendanai jika keraton itu telah berdiri dan telah menyelenggarakan kegiatan pelestarian dan pengembangan budaya.
Lebih aneh lagi jika yang akan tampil sebagai pangeran dalam keraton yang direncanakan dibangun itu adalah orang yang saat ini sedang menjabat sebagai bupati, karena dalam Permendagri itu jelas-jelas disebutkan pada pasal 1 bahwa yang dimaksud dengan kepala adalah Gubernur, Bupati dan Walikota. Artinya, ketiga pihak ini tak berhak sekaligus berfungsi ganda sebagai pangeran di keraton yang akan dibangun.
Jika bupati sekaligus jadi pangeran keraton, akan tampak lucu jika melaksanakan tata laksana kegiatan sebagaimana tercantum dalam Bab IV, pasal 6, ayat 1, yang berbunyi: Kepala daerah mengundang pimpinan ormas kebudayaan, keraton, dan lembaga adat untuk menyampaikan usulan program pelestarian dan pengembangan budaya daerah. Artinya, jika memang bupati lebih tertarik untuk menjadi pemimpin keraton, dia harus melepaskan jabatannya sebagai bupati.
Peraturan ini menegaskan bahwa pengembangan budaya daerah saat ini bukan lagi tugas Jakarta. Wewenang telah pindah ke daerah. Maju mundurnya kebudayaan di daerah akan ditentukan oleh tepat tidaknya sasaran pembangunannya.
Peraturan ini juga menjadi dasar bagi budayawan di Kalsel untuk membentuk ormas kebudayaan yang berhak pula untuk didanai oleh APBD sebaimana tercantum dalam pasal 1 ayat 6: Organisasi kemasyarakatan bidang kebudayaan yang selanjutnya disebut ormas kebudayaan adalah organisasi nonpemerintah bervisi kebangsaan yang dibentuk oleh warganegara Indonesia secara sukarela dan telah terdaftar di pemerintah daerah setempat, serta bukan organisasi sayap partai, yang kegiatannya memajukan dan mengembangkan kegiatan. Ini kesempatan bagus sebenarnya bagi Aruh Sastra Kalsel yang selama ini bergiat dalam pengembangan seni sastra di Kalsel untuk membulatkan diri menjadi ormas kebudayaan.
Permendagri ini juga menjadi dasar yang otentik bagi Lembaga Budaya Banjar untuk mengajukan rencana pengembangan budaya Banjar untuk didanai oleh APBD secara jelas. Jadi, Permendagri 39 itu bukan landasan hukum yang tepat untuk mendirikan replika keraton Banjar dengan dalih pelestarian budaya karena pelestarian kebudayaan yang dimaksud oleh peraturan ini dapat dilakukan organisasi masyarakat kebudayaan yang non-pemerintah, non-partai, non-profit oriented.
Ada baiknya pihak-pihak yang bersemangat dalam rencana tersebut untuk membaca kembali Permendagri 39/2007 itu dengan seksama sehingga niat baik untuk melestarikan budaya Banjar mendapatkan landasan hukum, logika, dan etika yang kuat. Karena dengan cara demikian, masyarakat tidak lagi mempolemikkan masalah rencana penggunaan uang rakyat untuk rencana yang masih samar-samar konsepnya itu dan mulai mengundang kontroversi dan polemik di tengah masyarakat. Pelestarian budaya Banjar jangan hanya direduksi dengan ada dan tiadanya keraton Banjar. Permendagri tersebut sadar betul bahwa pelestarian budaya adalah tanggung jawab banyak pihak, baik secara individual maupun secara kolektif. Pranata sosial yang sangat besar perannya adalah keluarga Banjar. Pusat pelestarian budaya Banjar yang selama ini berlangsung bukan terjadi di tataran elite, tetapi terjadi di keluarga melalui praktik sosial yang rutin, bukan dalam rangka seremonial dan festival.
Ada ranah pelestarian budaya Banjar yang lebih urgen dan signifikan untuk dibiayai oleh APBD Provinsi yaitu upaya-upaya penindaklanjutan Perda Nomor 7 Tahun 2009 tentang pemeliharaan bahasa dan sastra daerah, termasuk di dalamnya bahasa dan sastra Banjar. Bukankah faktor keintiman orang Banjar dengan keluarga yang melahirkannya dan bahasa yang mereka gunakanlah yang membuat mereka merasa sebagai bagian dari budaya Banjar?
Dalam hubungan dengan rencana strategis pelestarian budaya Banjar tersebut, Diknas provinsi, kabupaten, dan kota bisa menyelenggarakan kegiatan bersama dalam bentuk hibah bersaing penulisan buku ajar atau diktat pembelajaran bahasa dan sastra Banjar untuk semua tingkatan sekolah. Pesertanya adalah para guru di Kalsel. Pada tahap berikutnya, perlu segera dipikirkan kerja sama antara Diknas Provinsi dan Unlam atau LPTK swasta di Kalsel untuk membuka program studi khusus, yaitu Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Banjar (PBSB) sebagai upaya nyata menyiapkan guru pengajar bahasa dan sastra Banjar. Tindak lanjut Perda Nomor 7 tahun 2009 itulah pintu pembuka yang konkret untuk mulai melestarikan budaya Banjar. Sebab jalan pewarisan kebudayaan yang utama adalah melalui pendidikan.
Langkah lainnya adalah dengan membangun ruang khusus di perpustakaan provinsi, kabupaten, dan kota untuk menyimpan naskah, buku, foto, video dokumentasi yang menunjang studi tentang kebanjaran masa lalu sampai masa kini. Ini pun tentu memerlukan dana yang banyak. Apakah telah ada upaya sungguh-sungguh para aparat yang berwenang untuk mendatangkan koleksi tentang kebanjaran yang saat ini tersebar di seluruh penjuru dunia untuk menjadi penghuni perpustakaan provinsi? Ada berapa ribu koleksi naskah tentang kebanjaran di perpustakaan provinsi? Apakah telah ada langkah-langkah agar generasi saat ini tergerak untuk membuka dan mempelajarinya? Kalau belum, janganlah terlalu jauh bicara soal pelestarian budaya.

Radar Banjarmasin, 12 Oktober 2010

MEMBANGUN KERATON BANJAR



Oleh: HE. Benyamine

Pembangunan Keraton Banjar dengan menggunakan uang rakyat adalah suatu bentuk pengakuan adanya perubahan pandangan terhadap keberadaan Keraton Banjar sebagai sebuah identitas kekuasaan sultan sebagaimana pada zaman dulu, yang mengarah pada siapa sekarang yang memegang kekuasaan sebagai sultannya yang merupakan pilihan rakyat. Pembangunan keraton Banjar memang dapat melengkapi daya hidup dalam pelestarian budaya Banjar, dengan pandangan baru terhadap kekuasaan yang dulunya dipegang sultan dan adanya kesepakatan baru tentang pewarisan “tahta” kesultanannya.
Dalam pelestarian budaya Banjar sebenarnya karena adanya integrasi dan sinergi yang bergerak maju dari ketiga pilar yang dinyatakan Taufik Arbain sebagai hanya ada tiga pilar pendukung, yaitu: (1) nilai-nilai budaya yang berkembang di masyarakat, (2) aktivitas yang dilakukan pemangku adat, budaya, seniman dan pemerhati budaya, dan (3) penyediaan fasilitas oleh pemerintah (Radar Banjarmasin, 2 Oktober 2010: 9/14). Namun pilar pemerintah daerah terlalu sederhana dan bahkan meremehkan jika hanya dinyatakan penyedia fasilitas, yang mengesankan hanya sebagai pelengkap tanpa campur tangan lebih jauh. Padahal keberadaan pemerintah daerah dapat diartikan sebagai kekuasaan pada zaman sultan dulu. Sehingga ketiga pilar tersebut sebagai realitas sekarang adalah nilai budaya Banjar, masyarakat, dan pemerintah.
Menurut Taufik Arbain bahwa ketiga pilar tersebut belum cukup kuat menopang pelestarian budaya Banjar, sehingga perlu ditambah pilar keempat yaitu Keraton Banjar. Penambahan pilar keempat ini, jika memperhatikan ketiga pilar di atas sebenarnya tidak perlu sebagai pilar keempat, tapi hanya sebagai hasil keputusan dari ketiga pilar tersebut sebagai bangunan pendukung. Karena, jika Keraton Banjar yang akan dibangun dengan uang rakyat dianggap sebagai pilar keempat yang berarti adanya pelekatan kekuasaan terhadap keberadaannya sebagai penopang pelestarian budaya Banjar cenderung mengarah pada pengebirian ketiga pilar yang sebenarnya merupakan pondasi lestarinya budaya Banjar seterusnya. Jadi, tidak perlu ada pilar keempat tersebut, karena tidak lebih dari fasilitas bagi berintegrasi dan bersinerginya ketiga pilar; nilai budaya, masyarakat, dan pemerintah.
Menyatakan Kerator Banjar yang akan dibangun dengan uang rakyat sebagai pilar keempat, yang jika dipahami sebagai simbol kekuasaan sultan sebagaimana zaman dulu, maka tidak salah jika ada yang mengaitkan dan menghubungkan dengan politik. Mereka yang menyatakan atau berpikir keberadaan Keraton Banjar dengan politik dan jalan perebutan kekuasaan tidak berlebihan, tapi hal itu adalah sesuatu yang wajar dan lumrah adanya. Kecuali pembangunan Keraton Banjar dengan uang rakyat diletakkan sebagai bangunan yang dilekatkan pada kekuasaan sekarang (gubernur sebagai sultan), sebagai hasil yang merupakan sinergi dan integrasi dari ketiga pilar; nilai budaya, masyarakat termasuk di dalamnya keturunan darah sultan, dan pemerintah.
Keberadaan Keraton Banjar dapat menunjukkan integritas kebudayaan jika dipandang dengan pandangan realitas sosial saat sekarang. Keberadaan Keraton Jogja dan Solo saat ini juga sudah terus mengarah pada integritas kebudayaan yang mengacu pada realitas sekarang. Menjadikan Keraton Jogja dan Sola sebagai contoh bahwa di era globalisasi sekarang masyarakat masih mendukung penuh adanya kerajaan, kurang tepat dijadikan sebagai pembanding dengan Keraton Banjar (rencana), karena kedua keraton di Jawa tersebut terus hidup dan masih meninggalkan berbagai aset kesultanan hingga sekarang. Sebenarnya, Keraton Jogja dapat dijadikan model mengintegrasikan kekuasaan antara sultan sebagai simbol budaya dengan gubernur (terpilih), yang diangkat setelah yang bersangkutan terpilih sebagai gubernur sehingga tidak melekatkan perdebatan politis atas keberadaan Keraton Banjar.
Jadi, dalam rangka melestarikan budaya Banjar dengan mengupayakan pembangunan Keraton Banjar dari uang rakyat harus dipandang sebagai keputusan yang mengacu pada realitas kekuasaan sekarang. Hal ini tidak mengesampingkan keturunan (darah) kesultanan, karena seluruh masyarakat Kalsel merupakan pewaris dari budaya Banjar yang sah bagaimanapun bentuk kekuasaannya. Pembangunan Keraton Banjar sangat penting untuk pelestarian budaya Banjar, sebagai simbol kekuasaan dalam wujud baru dengan pandangan baru dalam pemaknaannya yang dapat dibanggakan seluruh masyarakat Kalsel. Keraton Banjar yang dibangun dari uang rakyat seharusnya dipandang sebagai simbol kekuasaan rakyat Banjar sekarang, bukan lagi bagian dari kekuasaan masa lalu, sehingga budaya Banjar terus mengalami perkembangan yang dinamis dan maju.

(Radar Banjarmasin, 5 Oktober 2010: 3)

"SULTAN" RUDY ARIFFIN

Oleh: HE. Benyamine

Dalam upaya melestarikan budaya Banjar perlu adanya perhatian semua kalangan, menjadi suatu gerakan bersama masyarakat tanah Banjar (Kalimantan Selatan), yang pada tujuannya untuk kebanggaan bersama. Upaya pelestarian tersebut tidak mengikatkan pada (menghidupkan) kerajaan Banjar yang sudah menjadi bagian dari sejarah perjalanan banua ini, yang tentunya tidak mengacu pada garis keturunan ataupun kekerabatan tertentu, tapi menjadi kepentingan bersama yang dibangun berdasarkan kesamaan kepentingan atas budaya Banjar yang memang mempunyai nilai, norma, dan daya cipta serta karya yang masih hidup hingga sekarang.
Pelestarian budaya Banjar tidak untuk mengingatkan pada perseteruan di dalam kerajaan Banjar pada masanya yang melibatkan berbagai pihak dalam perebutan kekuasaan, yang sebagian anggota keluarga kerajaan ada yang dibuang ke beberapa tempat sebagai bagian yang dikalahkan dan sebagian yang lain bertahta untuk selanjutnya berakhir. Kerajaan Banjar telah menjadi sejarah yang memang seharusnya terus dipelajari dan digali tentang keberadaannya untuk dijadikan pelajaran dan pengajaran tentang kehadiran suatu kekuasaan dan bagaimana kekuasaan itu dijalankan di tanah Banjar. Sehingga, dalam konteks pelestarian budaya perlu dikembangkan tunggak baru yang menjadi pandangan bersama yang bisa dirumuskan oleh pemuka masyarakat yang dibantu para ahli dari berbagai bidang atas dasar kesamaan dan kebersamaan sebagai pewaris budaya Banjar.
Berbagai alternatif dalam upaya pelestarian budaya Banjar perlu didengar dan diperhatikan, seperti pembangunan Taman Budaya Banjar pada suatu lokasi (yang perlu dibicarakan kembali), yang di dalam area taman tersebut dibangun semua tipe rumah Banjar termasuk sebuah istana untuk sultan dan sebuah istana untuk pengeran muda. Begitu juga dengan beragam tumbuhan khas kalimantan harus menjadi bagian dari taman tersebut, yang sekaligus sebagai tempat pelestarian tumbuhan tersebut. Taman Budaya Banjar ini dapat menjadi tempat rekreasi dan darwawisata sekaligus untuk kepentingan pendidikan.
Keberadaan Sultan dan Pangeran Muda sebagai simbol yang tidak terikat dengan garis keturunan darah, yang akan menempati istana yang ada di dalam Taman Budaya Banjar sebagai tempat kegiatan budaya sekaligus tempat peristirahatan, perlu dikedapankan untuk menegaskan tidak ada peluang kepentingan politik tertentu, sehingga penetapannya harus berdasarkan keputusan politik perwakilan rakyat berdasarkan pertimbangan dari berbagai pemuka/tokoh masyarakat yang dibantu ahli dari berbagai bidang dalam hal budayanya.
Untuk menghilangkan kecurigaan atas pelantikan sebagai Sultan dan Pangeran Muda yang dapat dijadikan jalan perebutan kekuasaan, maka siapapun yang terpilih menjadi gubernur dan wakil gubernur secara otomatis diangkat menjadi Sultan dan Pangeran Muda hingga periode kekuasaannya berakhir, dan jika mencalonkan kembali harus melepaskan status sultan dan pangeran mudanya. Sehingga penetapan sultan atau pangeran muda tidak dilakukan sebelum yang bersangkutan berada di puncak kekuasaan yang bisa mengatasnamakan daerah (banua). Di sini, keberadaan sultan dan pangeran muda hanya simbol, yang kebetulan dilekatkan pada orang yang berkuasa sebagaimana sultan pada masanya sebagai penguasa, tetapi status simbol ini berpindah seiring dengan berpindahnya kekuasaan.
Penetapan Sultan dan Pangeran Muda sebagai simbol pemangku pelestarian budaya Banjar kepada gubernur dan wakil gubernur terpilih melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalimantan Selatan adalah perwujudan kehendak rakyat (banua) dalam upaya pelestarian budaya Banjar. Sedangkan para bupati/walikota terpilih beserta wakilnya juga bisa ditentukan simbol kekuasaannya di daerah masing-masing, yang merupakan bagian dari simbol kesultanan, sehingga masing-masing dari mereka juga menempati satu rumah Banjar sesuai kedudukannya di Taman Budaya Banjar.
Berbagai pertujukan dan pergelaran budaya dapat dilaksanakan di Taman Budaya Banjar, begitu juga musyawarah pemangku kepentingan budaya Banjar untuk menentukan strategi pelestarian budaya Banjar. Dengan ditetapkannya gubernur dan wakil gubernur sebagai Sultan dan Pangeran Muda, sebagai tokoh yang sedang memegang kekuasaan, diharapkan dapat memperhatikan gerak budaya dan daya hidup budaya Banjar sebagai sesuatu yang penting dalam kehidupan masyarakat yang terus mengalami dinamika dengan budaya lainnya.
Jadi, penetapan Sultan dan Pangeran Muda kepada gubernur dan wakil gubernur terpilih merupakan suatu langkah yang lebih terhormat dan lebih dapat diterima dalam upaya pelestarian budaya Banjar, sebagai sesuatu upaya pelestarian yang sesuai dengan perkembangan saat ini. Status sultan dan pengeran muda hanya simbol sementara yang dapat diraih oleh semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali, jika yang bersangkutan terpilih jadi gubernur dan wakil gubernur serta status lainnya bagi bupati/wakil dan walikota/wawali, karena sultan dan pangeran muda memang simbol kekuasaan.
Oleh karena itu, gubernur dan wakil gubernur terpilih pada Pemilukada Kalsel 2010, perlu ditetapkan sebagai Sultan dan Pangeran Muda. (Sultan) Rudy Ariffin dan (Pangeran Muda) Rudy Resnawan dapat segera meminta berbagai kalangan dari masyarakat untuk bersama-sama merencanakan pembangunan Taman Budaya Banjar dalam upaya pelestarian budaya Banjar. Jika ada pertemuan secara nasional tentang kerajaan-kerajaan di Nusantara, Sultan atau Pangeran Muda (gubernur atau wakil) yang akan berhadir atau bupati/walikota (wakil) untuk menegaskan pandangan masyarakat Kalsel tentang keberadaan “kerajaan” yang ada sekarang terwujud dari kekuasaan atas pilihan rakyat. (Barelaan sabarataan, maaf lahir batin, selamat Idul Fitri 1431 H).
(Radar Banjarmasin, 14 September 2010: 3)

Cuplikan beberapa komen :

Syarifuddin Rdin :
Perlu banyak pertimbangan dan pemikiran, krn mengenyampingkan peran pemangku budaya/adat atau apapun namanya yang sudah terlanjur berbuat....berdasarkan pola pikir yang sudah diasah.....sesuai pemahaman masing-masing. Jadi harus ada solusinya dulu, yaitu keikhlasan dan kerelaan dari .......

Arsyad Indradi :
Mudah2an banyak gelar Sultan itu Pangeran ini bagi pejabat daerah ini benar2 ada upaya nyata menghidupkan,membina dan melestarikan seni budaya,adat istiadat Banjar yang kian musnah dimakan "rayap". Kita ambil salah satu contohnya, kenyataan... saat ini "istana" kerajaan "Mamanda" sangat memprihatinkan,semakin "barubusan",disamping Rajanya ,Mangkubumi,Kepala Pertanda,Wajir,Harapan Pertama dan Kedua "kucangkirap tidak bergaji" karena jarang sekali ada "orderan". Begitu pula raja "Lamut" sdh tua2 tdk ada regenerasi. Anak2 negeri Banjar banyak yang " tidak tahu dibasa" karena tdk ada pelajaran muatan lokal disekolah mengalokasikan waktu untuk pelajaran adat istiadat,tata krama Banjar (walau ada perda).dan lain-lain dan lain-lain
Orang banyak tdk tau dengan "Arsyad Indradi" sejak th 70 sdh bergelar "Maha Raja Brajapati Alam Gangga Sukma Barjiwa" bertahta di Kerajaan "Ganda Manik Sukalima", duduk di singgasana bertatah yakut jambrut nilam biduri, memakai mahkota emas permata intan berlian.Mun pejabat sekarang ini baru aja bergelar-gelaran.he he he

Ibnu Aan Ansyari :
Tapi wal ai . . . kita perlu hati-hati menggunakan istilah SULTAN.
Terkait upaya handak membangun kembali sejarah dan budaya banjar nang kian musnah dimakan rayap, biar melalui simbol-simbol yang lain haja.

Tato Setyawan :
Setuju dgn komen Abah Arsyad, generasi muda banua era kini byk yg tdk bisa menghargai budaya sendiri. Contoh riil, suatu ketika ditempat saya ada mamanda, krn saya cinta budaya nusantara khususnya budaya lokal maka saya ajak beberapa teman ...utk menyaksikan acara itu, awalnya sy pikir mreka mau ternyata tdk, mrk mnolak ajakan sy sembari tertawa dan sdikit mengejek sembari mengatakan, sy ndeso dan kampunyan. bahkan mrk bilang bgini, "kami yg urang banjar aja koler masa ikam yg jawa suka mlihat mamanda". Aneh ya pandangan mereka. Termasuk ktika saya nonton wayang kulit banjar sampai tuntas, besoknya teman2 sy yg mengetahui itu pada ketawa, katanya sy aneh masa wayang kulit banjar ditonton. Sy justru berpikir sbaliknya, bahwa yg aneh adalah mreka. Bener gak Bang Ben hehehhehe
Terkait note sampean, idealnya memang bgitu, salah satu pilar atau komponen penting yg mampu menyangga kokohnya pondasi budaya lokal adlah pengambil kebijakan yg notabene adlah kpala daerah, di tangan merekalah budaya lokal bisa dijunjung tinggi bersama2 komponen daerah lainnya.

Zulfaisal Putra :
Perlu pertimbangan kuat jika menyangkut gelar-gelar ke bangsawanan. Kondisi kita berbeda dengan keraton di Jawa atau di Bali yang bisa menganugerahkan gelar kebangsawanan kepada artis sekali pun.
Namun, pemikiran Bang Ben ini juga perlu dija...dikan wacana pencerahan.