Jumat, 23 Desember 2011

MANINGAU NILAI SOSIAL BUDAYA DAN NILAI SENI BUDAYA BANJAR


Oleh : Arsyad Indradi

Sejak zaman Datu Nini baik Nilai – Nilai Sosial budaya dan Seni Budaya  Banjar sudah tertanan dalam masyarakat Banjar.
I. Nilai Sosial Budaya
 Nilai Sosial Budaya seperti keterampilan dan kerajinan yakni anyaman, masakan, batik, kamasan, ukir dan tatah. Anyaman dengan bahan tumbuhan purun yang menghasilkan tikar purun, bakul purun. Bahan paikat (rotan) yang menghasilkan bakul, lanjung, arangan gayak, bakul kayang ( tangkiding ), bakul pamasakan, butah, rambat, tangkitan bukit dan lain – lain. Daun nipah yang menghasilkan “tanggui“ ( tudung ), ketupat, kajang dan lain – lain. Atap rumbia yang bahannya dari daun rumbia. Dari bahan ijuk menghasilkan sapu ijuk dan tali ijuk. Demikan juga masakan berupa empat puluh satu macam kue, gangan asam, gangan balamak, gangan haliling, soto Banjar dan lain – lain. Batik Banjar berupa kain sasirangan, dinding airguci, tapih (sarung) wanita. Sasirangan adalah batik khas Kalimantan Selatan yang pada jaman dahulu digunakan untuk mengusir roh jahat dan hanya dipakai oleh kalangan orang-orang terdahulu seperti keturunan raja dan bangsawan. Proses pembuatan masih dikerjakan secara tradisional.Selanjutnya klik disini.

Minggu, 09 Oktober 2011

TADARUS PUISI 2011 (Padukan Proses Kreatif Penciptaan Puisi dan Pembacaannya)


Oleh: HE. Benyamine

Kota Banjarbaru kembali menggelar  Tadarus Puisi & Silaturrahmi Sastra (19 – 20/8) di bulan Ramadhan. Tahun  2011 ini merupakan kegiatan tadarus puisi yang ke-8. Penyelenggaraan kegiatan tadarus puisi yang sudah berlangsung sekian tahun secara berturut-turut merupakan pencapaian yang patut dibanggakan. Rasanya tidak berlebihan jika Ali Syamsuddin Arsi, penyair yang berdomisili di kota Banjarbaru, mengatakan kota Banjarbaru sebagai kota sastra. Selain kegigihan para penyairnya dalam berkarya,  Pemko Banjarbaru yang memfasilitasi berbagai kegiatan berkesenian dan mendukung berputarnya roda organisasi Dewan Kesenian Daerah Kota Banjarbaru, dan apresiasi dari sebagian warga dalam berkesenian dan bersastra.

Dalam penyelenggaraan tadarus puisi ini diarahkan sebagai panggung terbuka untuk siapa saja. Tidak harus penyair atau yang punya karya. Para penikmat sastra juga berperan aktif dalam agenda acara. Semua yang hadir mempunyai kesempatan yang sama untuk tampil atau mengekspresikan dirinya, seperti membaca puisi dan mengemukakan pandangannya tentang berbagai hal yang berkenaan dengan proses kreatif penciptaan atau pembacaan atas karya-karya yang lahir dari para penyair; dari sekian karya tersebut ada banyak penulisnya sendiri yang hadir. Proses kreatif penciptaan dan proses kreatif pembacaan seakan sedang bertemu dalam acara tadarus puisi.

Tadarus puisi juga menghamparkan “karpet merah” silaturrahmi bagi berbagai kalangan, baik antar sesama penyair maupun dengan yang bukan penyair, antara yang tua dan muda, antara pandangan yang sama dengan yang berlawanan, semuanya berbaur dalam satu panggung terbuka. Mereka yang hadir tidak hanya dari kota Banjarbaru, namun dari kota-kota lainnya yang ada di Kalimantan Selatan. Pertemuan yang menggoda proses kreatif penciptaan dan pembacaan. Perjamuan yang mengesankan dari berbuka puasa (sebagian) hingga sahur.

Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya yang mengapresiasi jejak kepenyairan mereka yang memang layak dan pantas menerima penghargaan dan penghormatan, tadarus puisi 2011 juga memberikan penghormatan kepada 3 (tiga) penyair kota Banjarbaru yang telah memberikan sebagian waktunya untuk proses kreatif penciptaan puisi dan karya kreatif lainnya, yaitu : (1). Muhammad Syarkawi Mar’ie, (2). Sri Supeni, dan (3). Yuniar M. Ary. Ketiganya telah menghadap ke sisi Allah SWT.

Pada penyelenggaraan sebelumnya, tadarus puisi telah mengapresiasi jejak kepenyairan sebagai wujud penghargaan dan penghormatan kepada: Jafry Zamzam(2007), Eza Thabry Husano dan Hamami Adaby (2008), M. Rifani Djamhari (2009), Arsyad Indradi Si Penyair Gila (2010). Salah satu penyair kota Banjarbaru, Eza Thabry Husano, tahun ini telah berpulang ke sisi Allah, semoga beliau dilapangkan dan dimudahkan. Suatu kehilangan yang mengharukan, karena hingga hari-hari terakhir beliau masih terus berkarya dan semangat yang kuat memotivasi generasi muda dalam proses kreatif penciptaan karya. Hanya doa kepada beliau-beliau yang telah kembali kepada Penciptanya, dan semoga karya beliau-beliau menjadi ilmu bermanfaat.

Pelaksanaan Tadarus Puisi & Silaturrahmi Sastra merupakan kerjasama Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga Kota Banjarbaru dengan Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kota Banjarbaru. Didukung kelompok, komunitas, dan sanggar seni yang ada di kota Banjarbaru. Sebuah sinergi yang membuka berbagai peluang yang positif dalam proses kreatif penciptaan dan pembacaan, di tengah apresiasi pada sastra yang masih dianggap rendah dan terabaikan dalam pengambilan kebijakan pemangku kekuasaan dan pemihakan dalam anggaran terhadap kegiatan budaya.

Melalui karya-karya para penyair dapat ditemukan adanya harapan dan kebanggaan pada kotanya, sebagaimana puisi Yuniar M. Ary yang berjudul Banjarbaru: “Di dadamu/kuberteduh/di hatimu/kumengeluh/dan di jantungmu/aku kan berlabuh/(menunggu ajal menjemput).” Atau dalam pandangannya tentang kota kecil di kaki bukit Mandiangin yang berubah menjadi kota metropolitan dengan deretan ruko, mobil, dan truk iblis dari utara yang berlomba mengencingi kota yang ada dalam puisi Surat Buat Walikota, yang ditutup dengan bait: “dan kau .../boleh bangga/di surga abahmu bertepuk dada/tuh anakku/dengan gagah/menata kota ... /(banua permai awal kemarau).

Begitu juga puisi Muhammad Syarkawi Mar’ie yang dalam momen hari kemerdekaan tetap terasa menguatkan untuk terus berjuang yang berjudul Teruskan Perjuangannya (1995): “renungan suci di malam yang sepi dan/gulita bukan sekedar doa, karena/perjalanan panjang belum tiba pada titik kemakmuran dan/keadilan yang merata//teruskan perjuangan mereka yang sudah tiada/lahir dan batin kita berjanji/tanpa sorak dan gempita/hutang kepada bumi dan matahari akan dilunasi”. Kobaran semangat untuk perjuangan ini tidak untuk melukis di langit dan nama, seperti angan-angan dan sekedar sebuah kehormatan nama, tapi merupakan sebuah perjalanan tanpa pamrih sebagaimana puisi Benamkan Dirimu Di Bumi Yang Sepi: “benamkan dirimu di bumi yang sepi/walaupun sudah menyiram tanah-tanah kering/dan mengusir kawanan serigala/yang tidak pernah tidur/dan tidak pernah lupa.”

Semangat yang sama dalam bilik yang berbeda begitu jelas terlihat pada Sri Supeni dalam puisi Terbanglah Jok (1983): “inilah hidup/terbanglah!/kau tahu apa arti lebih tinggi” dalam memandang sosok yang kokoh dalam mempertahankan prinsip dan keutamaan hidup. Semangat itu tertuju pada orang lain dan dirinya sendiri, untuk menyadari hidup adalah perjuangan.

Tadarus Puisi dan Silaturahmi Sastra ke-8 di Kota Banjarbaru sudah selayaknya mendapat apresiasi dari berbagai pihak, sebagai model bersinerginya berbagai komponen dalam upaya mengapresiasi proses kreatif penciptaan. Juga membuka pintu proses kreatif pembacaan terhadap karya-karya para penyair. Karya-karya tersebut tidak menjadi yatim piatu sebagaimana yang diungkapkan Abdurrahman El-Husaini dalam Kumpulan Puisi Bahasa Banjar, Doa Banyu Mata (Tahura Media, 2011) dengan judul Sakalinya (hal. 67): “Sakalinya/Yatim piatu ngitu/Bangaran puisi.” Dalam tadarus puisi terselip harapan bersama untuk saling menghargai dan mengapresiasi, dan tentunya ada tuntutan untuk memelihara yatim piatu sebagaimana bentuk karya lainnya.

(SKH Radar Banjarmasin, 17 Agustus 2011: 3)

Sabtu, 08 Oktober 2011

BURINIK SENI BUDAYA BANJAR


Oleh: HE. Benyamine

Keberadaan wujud seni budaya di tanah Banjar antara ada dan tiada, menurut penuturan yang sering terdengar ada tetapi sudah tidak eksis lagi dalam wujudnya, seperti tenggelam namun masih kelihatan riak-riaknya, beberapa kalangan menyebut hal ini  sebagai diistilahkan dengan sebutan  batang tarandam. Usaha untuk melestarikannya digemakan dengan sebutan maangkat batang tarandam. Keprihatinan demi keprihatinan atas tenggelamnya seni budaya Banjar sering terlontar di sembarang tempat, yang keras terdengar hanya seperti suara pinggiran, dan sesekali mengisi pidato-pidato elit kekuasaan.

Keprihatinan dan keterpanggilan dalam seni budaya Banjar yang terus mengalami keterpinggiran dapat dilihat dari apa yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang, sekecil apapun yang dilakukannya,  akan mempunyai makna yang sangat berarti dalam pelestarian seni budaya Banjar tersebut, bahkan hal itu lebih kepada menghidupkannya kembali dalam ruang pikir dan ruang hiburan masyarakat di mana seni budaya itu hidup dan berkembang dulunya. Upaya yang demikian terlihat dari kegiatan yang digagas Sainul Hermawan dengan Lamut Masuk Sekolah, sebagai contoh yang saat ini terlihat sebagai keteguhan atas ketidakpedulian yang massif. Hal yang sejajar terlihat juga dari karya Arsyad Indradi dalam Burinik (Kumpulan Puisi Bahasa Banjar dengan Bahasa Indonesia-nya) terbitan KSSB Banjarbaru 2011, yang menampilkan berbagai bentuk adat tradisi dan mitos dalam bentuk puisi bahasa Banjar dengan terjemahan bahasa Indonesia.

Dalam Burinik, Arsyad Indradi seperti ingin menegaskan bahwa banyak seni budaya Banjar yang tidak diperhatikan, bahkan generasi belakangan sudah banyak yang tidak mengetahui lagi apa itu Lamut, Badudus, Baahuy, Mamanda, dan lainnya. Sebagaimana digambarkannya pada setiap akhir puisi, seperti dalam Badudus

(penganten) dengan ungkapan, “Mudahan diingat turuntimurun kahada jua talupaakan”. Juga mengenai mitos dan cerita-cerita yang berhubungan dengan lingkungan dan alam sekitarnya, seperti dalam puisi Saekong Bekantan Bini yang ditamsilkan sebagai “Sosok ibu yang teramat ibu”.

Melalui puisi-puisi dalam bahasa Banjar dengan terjemahan bahasa Indonesia, Arsyad Indradi yang dikenal sebagai Penyair Gila, berusaha maangkat batang tarandam dengan upaya memindahkan sastra lisan ke sastra tulisan, karena saat ini sudah mulai ada perubahan dalam sastra lisan tersebut menjadi sastra dalam bentuk tulisan. Bahkan sebagian puisi-puisi dalam Burinik sengaja diberi notasi musik, yang merupakan suatu pengalaman dengan kerinduan urang Banjar pada dendang syair yang juga semakin tidak terdengar lagi. Dengan adanya notasi musik pada puisi-puisi tersebut membuka peluang puisi menjadi hiburan bagi yang mendengarnya, yang mendekatkan puisi pada telinga yang lebih mudah menerima sastra lisan. Salah satu puisi yang ada notasi musiknya adalah Maangkat Batang Tarandam yang lebih pada puisi penyemangat untuk bersama-sama menghidupkan seni budaya Banjar, sekecil apapun itu.

Dengan menyelipkan terjemahan dalam bahasa Indonesia, kumpulan puisi bahasa Banjar Burinik ini, secara langsung diharapkan dapat membantu pembaca yang bukan bahasa ibunya Banjar, sehingga dapat lebih menjangkau pembaca yang lebih luas. Hal ini merupakan suatu peluang bagi orang luar dalam mengenal seni budaya Banjar, yang dapat mendorong rasa ingin tahu dan perasaan yang lebih jauh dalam membayangkan pola pikir orang Banjar. Karena melalui puisi-puisi ini sebagian adat istiadat dan mitos di masyarakat Banjar tergambarkan dengan jelas, yang selama ini lebih banyak terdengar dari penuturan lisan.

Seperti Lamut, yang hingga saat ini belum ada cerita yang dilisankan Palamutan dalam bentuk tulisan atau buku sebagaimana naskah I La Galigo, yang oleh Arsyad Indradi dicoba diketengahkan dalam penggalan cerita dalam puisi Buah Sukma Biduri tentang istri Raden Kasan Mandi yang lagi mengidam, dengan akhir puisi yang menyatakan keprihatinan, “Tarbang mengalunngalun semakin ke ujung semakin menghilang/ … /Aku sudah tua/Aku seoranganlah yang tertinggal tiada siapasiapa lagi/Jika tiada yang meneruskan lamut bagaimana nasib senibudaya Banjar”.  Hal ini begitu sejalan dengan keprihatinan Sainul Hermawan tentang Lamut yang menjadikannya tertarik untuk bahan desertasinya. Jika memperhatikan cerita dan segi naskah sungguh panjang dan menarik untuk diteliti, karena dari cerita-cerita tersebut ada hal yang tersembunyi dan dapat menjadi petunjuk tentang perjalanan panjang penghuni tanah Banjar ini.

Di sini menjadi penting untuk mengupayakan berbagai sastra lisan ke dalam bentuk bahan bacaan, yang sebagiannya sudah mulai diperlihatkan Arsyad Indradi dan beberapa tokoh lainnya, yang cenderung sebagai suatu bentuk keprihatinan dan ketertarikan sendiri-sendiri saja. Sudah seharusnya  hal ini diarahkan menjadi kesadaran bersama-sama, dan tentunya harus dilakukan secara terencana untuk mendokumentasikan semua sastra lisan, sehingga generasi belakangan dapat menemukannya dalam perubahan budaya baca yang semakin meningkat saat ini dan yang akan datang.

Jadi, melalui Kumpulan Puisi Bahasa Banjar Burinik sebenarnya Arsyad Indradi ingin mengingatkan bahwa yang dimaksud batang tarandam benar-benar ada, namun masih terlihat sebagai burinik-burinik, dan masih merupakan cerita mulut ke mulut, belum dapat menunjukkan bahwa yang terendam itu benar-benar seni budaya Banjar yang dimaksud. Di samping itu, sebagian pihak masih disibukkan dengan burinik (riak), tanpa ada kepedulian yang sungguh-sungguh untuk menyelam dan melihat langsung asal burinik tersebut dan meangkatnya ke permukaan sebagai sesuatu seni budaya yang dapat lestari dan menghibur tentunya. Mungkin pada suatu saat, kita dapat melihat Arsyad Indradi mendendangkan puisi-puisi yang berisi seni budaya tersebut dalam suatu tampilan, atau beliau dapat mengadaptasi Lamut dengan isi cerita berasal dari puisi-puisi tersebut. Burinik, burinik, burinik … tentu ada sesuatu di dasarnya.





BANJARMASIN KOTA JAZIRAH CINTA


Oleh: HE. Benyamine


Kota Banjarmasin dikenal dengan julukan Kota Seribu Sungai, karena memang kota ini memiliki begitu banyak sungai baik yang alamiah maupun buatan (kanal). Meskipun saat ini sungai-sungai tersebut mengalami kerusakan yang begitu berat, hingga ada sungai yang menghilang, namun Kota Banjarmasin masih layak menyandang gelar Kota Seribu Sungai dengan sungai-sungai yang tersisa, sebagaimana dapat dilihat dari udara kota Banjarmasin seperti kumpulan pulau-pulau kecil. Kerusakan sungai-sungai saat ini sudah seharusnya menjadi perhatian yang serius dari Pemko Banjarmasin, karena keberadaan sungai tidak hanya berhubungan dengan julukan tapi lebih pada kelangsungan kota sebagai tempat hunian yang layak dan aman.

Untuk mengenal sebuah kota, selain dari julukan yang dilekatkan atau melalui promosi daerah dan dari mulut ke mulut mereka yang pernah datang, juga bisa ditemukan pada karya sastra. Melalui sebuah novel, sebuah kota dapat tergambar secara lebih luas, baik lingkungannya maupun manusianya dengan berbagai perilakunya. Sebuah novel yang mengambil latar cerita sebuah kota, cenderung secara tidak langsung merupakan promosi kota tersebut, yang akan mengundang rasa penasaran saat membaca novel tersebut dan memberikan bayangan tentang kota tersebut. Melalui novel juga, sebuah kota dapat memperoleh julukan baru, seperti Kota Banjarmasin yang diungkapkan sebagai Jazirah Cinta.

Apakah warga Kota Banjarmasin menyadari kota mereka diberi julukan sebagai Jazirah Cinta? Atau, apakah Pemko Banjarmasin mengetahui tentang julukan tersebut. Begitu juga dengan elit politik dan kekuasaan peduli dengan hal demikian. Tentu saja, apabila tidak pernah membaca novel Jazirah Cinta (Penerbit Zaman, Cet. I: 2008) karya Randu Alamsyah, ungkapan yang sungguh romantik dan religius tidak begitu dapat disadari ataupun diketahui oleh Pemko, warga, dan elit politik dan kekuasaan Kota Banjarmasin. Seperti yang diungkapkan berikut, “Mungkin suatu pagi yang kosong di tepian sungai Barito telah cukup untuk megobati gulanamu. Mungkin kebeningan itu hadir lewat lantunan azan yang menggetarkan dari menara Masjid Sabilal Muhtadien, jabat hangat dari anak-anak muda ceria yang selalu dihiasi senyum tulus di wajah mereka yang bersinar karena sering dibasuh wudu, aroma surgawi yang menghambur dari Samudra Jilbab putri-putri pesantren .... (hal.11)“ Suatu gambaran Kota Banjarmasin dan sekitarnya yang sangat menenangkan dan memberikan energi positif bagi orang-orang yang hidup di kota ini.

Novel sebagai sebuah karya fiksi, atau sebuah kehidupan rekaan penulisnya, juga mengandung informasi yang dapat disandingkan dengan realitas yang menjadi latar ceritanya. Seperti Kota Martapura yang digambarkan novel Jazirah Cinta dengan lautan manusia saat pengajian “Cahaya K.H. Zaini bin Abdul Gani di Sekumpul, Martapura” merupakan petunjuk bahwa pernah ada seorang tokoh ulama kharismatik dan dicintai di Kalimantan Selatan dan merupakan realitas yang sebenarnya. Hal ini merupakan suatu rekaman tentang suatu kota dengan aktivitasnya yang luar biasa yang terdokumentasi dalam sebuah karya sastra, yang mengingatkan tentang suasana kehidupan saat guru Sekumpul hidup.

Pernahkah walikota Banjarmasin atau Bupati Banjar mendengar cerita tentang sebuah kota sebagaimana dalam novel Jazirah Cinta, setidaknya jika tidak sempat membaca, pernah mendapat cerita tentang novel tersebut dari instansi yang terkait dengan kepariwisataan dan budaya atau dari istri walikota yang mungkin sempat membacanya. Jika tidak pernah mendengarnya atau membacanya, maka tidak pernah tahu bagaimana Kota Banjarmasin (juga Kota Martapura) digambarkan dengan “Perlahan kau akan menemukan kembali dirimu di sini. Kau akan merakit serpihan-serpihan kehancuranmu, menata hatimu, dan memulai kembali hidupmu.”   Sebagai ungkapan tentang kota yang dinyatakan dengan sebutan Jazirah Cinta, “Kau akan membingkai waktu-waktu terbaikmu di Jazirah Cinta, dan membingkainya menjadi kenang-kenangan hidup yang tak terlupakan.” Di sini tergambar bagaimana suatu karya sastra dapat menjadi rujukan bagi warganya sendiri dalam melihat kotanya maupun orang luar yang membaca buku berlatar kota Banjarmasin dan sekitarnya.

Sebagaimana novel Laskar Pelangi yang mengenalkan Bangka Belitung, novel Jazirah Cinta juga mempromosikan Kota Banjarmasin dan sekaligus memberinya julukan yang romantis dan religius. Di sini terlihat, karya sastra mempunyai bagiannya tersendiri dalam sumbangsihnya terhadap pembangunan daerahnya atau negara. Sungguh naif, ada elit politik atau kekuasaan yang mempertanyakan peran sastra dalam pembangunan, dan membandingkan dengan tugas dan fungsinya sebagai anggota dewan atau pegawai pemerintahan. Apalagi, jika pemerintah daerah atau elit politik yang tidak menganggap penting karya sastra dan para penggiatnya dengan mengabaikan dan tidak mempedulikannya; terlebih tidak pernah membaca karya sastra dari daerahnya sendiri.

Jadi, karya sastra (dari daerah) perlu mendapatkan apresiasi yang semestinya, terutama dari pemerintah daerah dan elit kekuasaan serta ekonomi, karena merupakan sebuah karya kreatif yang dapat menjadi inspirasi dalam mengasah kepekaan dalam menentukan kebijakan dan keputusan suatu kebijakan. Dunia rekaan atau fiksi, seperti novel, dapat menjangkau sesuatu yang tidak pernah terbayangkan padahal merupakan bagian kehidupan kita sehari-hari. Seperti tentang suasana dan masa kehidupan guru Sekumpul, yang bagi sebagian besar masyarakat merupakan kehidupan yang pernah dialami secara langsung dan menjadi biasa, namun tidak terbayangkan dalam suatu cerita di sebuah buku (novel) yang menghadirkan suasana itu meski beliau sudah kembali ke Pemilik hidup. Dinas kepariwisataan atau instansi terkait Kota Banjarmasin atau Kabupaten Banjar khususnya dan Kalimantan Selatan umumnya seharusnya berbangga dengan kehadiran novel Jazirah Cinta, yang tentu tidak berlebihan jika menjadikannya souviner bagi tamu daerah. Begitu juga terhadap karya sastra lainnya.

(Media Kalimantan, 5 Juli 2011: C5 -- Halaman Seni & Budaya)

Minggu, 31 Juli 2011

GUA LIANG HIDANGAN WISATA YANG MENAKJUBKAN

Oleh : Arsyad Indradi

Sebuah Desa bernama “ Karatau “ Kecamatan Batu Benawa di Wilayah Kabupaten Hulu Sungai Tengah adalah Desa yang bersih. Masyarakatnya, nampaknya sangat peduli akan kebersihan lingkungan walau pun rumah-rumah di kiri kanan jalan cukup sederhana. Suasana Desa ini terasa nyaman dan menyenangkan dalam sebuah pemukiman penduduk. Di ujung Desa inilah terdapat Gua bernama Liang Hidangan.

Jika kita akan ke Gua Liang Hidangan, dari Kota Barabai berjarak sekitar 8 km menuju Desa Karatau naik mobil atau sepeda motor sekitar kurang dari satu jam. Tetapi dari Desa Karatau menuju Gua Liang Hidangan berjarak 3 km yang agak sulit ditempuh dengan mobil melainkan dengan sepeda motor sekitar satu jam atau jalan kaki sekitar satu setengah jam manakala musim hujan.

Gua Liang Hidangan berada hampir di tengah – tengahnya Gunung Batu Benawa, yang memiliki panorama yang sungguh menakjubkan. Selain keindahan hutan di sekitar gua, juga gua ini memiliki keunikan tersendiri. Gua yang mempunyai kisah zaman dahulu, kisah Raden Panganten anak durhaka yang disumpah Diang Ingsun ibunya sehinga menjadi batu. Kisah ini dituturkan secara lisan mau pun dikemas dalam sebuah buku yang selalu melekat dalam masyarakat Tanah Banjar sampai sekarang ini.

Sesungguhnya,Gua Liang Hidangan ini merupakan objek wisata yang sangat strategis bagi Kabupaten HST khususnya Kota Barabai dan Kalimantan Selatan umumnya, namun kondisi potensi wisata ini masih belum diolah dan dikelola dengan baik oleh Pemerintah Daerahnya baik Pemkabnya mau pun Pemda Prov.Kalsel.

Jalan sepanjang 3 km menuju ke Gua Liang Hidangan dalam kondisi sangat buruk dan berlumpur jika hujan. Di kaki gunung dimana letak gua tersebut ada sebuah bangunan kecil tempat peristirahatan pengunjung sangat memperihatinhan. Ada beberapa bagian bangunan itu sudah lapuk dan coret-moret di bangku dan langit-langit bangunan dan lebih-lebih lagi disekitarnya ditumbuhi hutan kecil yang menutupi serkitar bangunan itu sehingga yang terlihat hanya atapnya saja. Jalan bertangga yakni pendakian menuju Gua Liang Hidangan yang dibangun dari beton nampak rusak berat. Untuk mencapai gua begitu sulit kalau tidak hati-hati akan membahayakan karena tangga ini licin ditumbuhi semak dan pohonan.

Kalau melihat potensi Gua Liang Hidangan ini, pemerintah dan masyarakatnya dapat mengemasnya dengan bungkus paket wisata yang rapi dan menarik maka akan menguntungkan bagi daerahnnya dan kemakmuran masyarakatnya. Apalagi jika menjadikan sebuah komplek taman wisata budaya sehingga akan menjadi komoditi pariwisata dalam skala regional, nasional maupun internasional tentu tak kalah dengan gua-gua yang lain di Indonesia, seperti di Daerah Istimewa Yogyakarta ada Gua Braholo ( arena susur gua), Goa Cerme (Gua siluman), Gua Selarong (sejarah ) di Langse (Gua Kanjeng Ratu Kidul ) Gua Jatijajar (alam). Gua Sunyaragi (Budaya) di Cerebon, Gua Selomangleng (batu andesit hitam) di Kediri, Gua Pawon di Badung, Gua Maharani. Jatim,Gua Jepang (sejarah) Di Biak Papua dll

Menilik dari keunikan yang terkandung dalam Gua Liang Hidangan, selain menjadi objek pariwisata yang potensial juga menjadi tempat penelitian bagi para ahli. Menurut tutur tetuha masyarakat setempat bahwa di dalam Gua Liang Hidangan itu terdapat batu-batu berupa manusia, hewan ternak, alat-alat rumah tangga dan perabot kapal. Gua Liang Hidangan ini pada zaman dahulu adalah sebuah pecahan perahu yang ditumpangi Raden Panganten dan isterinya (putri china) beserta awak kapalnya yang disumpah oleh Diang Ingsun ibunya menjadi batu. Cerita ini apakah merupakan sebuah sejarah atau legenda atau mitos, kita serahkan saja kepada para ahli untuk menelitinya. ***

(Penulis seorang penyair dan pemerhati seni dan budaya)



Jalan menuju Gua Liang Hadangan


Tempat peristirahatan di kaki bukit

Mulut Gua dan Gua bagian dalam

Kamis, 09 Juni 2011

Arsyad : Kasihan Kesultanan Banjar


Setelah seniman Sirajul Huda yang mengaku tak diminta izin tarian “Japin Rantawan”
ciptaannya dibawakan tim Kesultanan Banjar di “Tong Tong Fair” Belandan, giliran seniman Kalsel Arsyad Indradi mengaku hal sama. Arsyad Indradi selaku pencipta Tari Semangat Ratu Zaleha yang dibawakan oleh kesenian Sanggar Kesultanan Banjar, mengaku terkejut tariannya dibawakan. “Saya terkejut. Sebab baru sekarang tahu tarian ciptaan saya itu dibawakan ke Eropah. Saya bangga dan sangat senang mendengarnya” ucap seniman tari ini kepada MK, diBanjarbaru,kemarin (2/6). “Namun saya sangat sangat menyayangkan kepada Tim Kesenian Kesultanan Banjar itu yang tak konfirmasi (izin) terlebih dalu kepada saya sampai keberangkatannya” tambahnya. Menurut Arsyad, hal ini memberikan kesan buruk kepada pihak Kesultanan. Ia menyatakan itu sebagai ketidaksopanan para Tim Kesenian Kesultanan Banjar.
“Kasihan Kesultanan yang tidak tahu-menahu. Dan dalam hal ini menjadi prasangka yang maca-macam dari berbagai kalangan yang tidak paham. Jika tahu adat-istiadat, tentunya Tim Kesenian Kesultanan Banjar ini akan bapadah.” Sesungguhnya aku bukan ingin dihormati ataupun disangka ingin “bakasak” ikut tetapi seyogyanyalah bapadah kepada koreorafernya,”ucapnya.
Arsyad bahkan mengaku berterima kasih dan mengizinkan dengan tulus bila minta izin.”Sebab bagaimanapun juga ini menyangkut nama penciptanya, manakala dibacakan sinopsisnya dan nama koregrafernya sebelum tarian itu ditampilkan. Apalagi setelah diketahui bahwa penari Tim Kesenian Kesultanan Banjar itu penari pemula yang baru belajar, tidak profisional.” ujar Arsyad yang juga dikenal sebagai penyair.
Bahkan Arsyad agak was-was, jangan-jangan ragam gerak Tari Semangat Ratu Zaleha keliru dan tidak menyebutkan namanya sebagai penciptanya atau diganti dengan nama orang lain “Karena aku mengetahui pelatih tari dan semua penarinya bukan penari profisional alias pemula,”ucapnya.
Seharusnya,lanjut Arsyad, Tim Kesenian Kesultanan Banjar (yang bertanggung jawab) memunculkan batang hidungnya guna meminta izin sebelum keberangkatan. “Sebenarnya kejadian ini adalah pembelajaran bagi kita semua bahwa kita harus selalu menjunjung tinggi hak cipta dan menghargai hasil karya seniman. Maaf, bukan seniman dadakan atau seniman tempelan. Agar seni Budya Banjar dan Adat-istiadat Tanah Banjar selalu lestari. Semoga”,pungkasnya ( ananda-kmk).

Sumber : Harian Media Kalimantan,Jumat,3 Juni 2011.

Selasa, 31 Mei 2011

KABUPATEN BANJAR TAMPILKAN KESENIAN DI "TONG TONG FAIR"

………………………
Noripansyah yang bertindak sebagai manajer rombongan kesenian dari Sultan Banjar itu kepada koresponden ANTARA London, Senin, mengatakan bahwa ia merasa puas dengan penampilan Tim Kesenian Banjar yang utuk pertama kalinya tampil di luar negeri.
Penampilan kesenian dari Sangar Kesultanan Banjar di bawah pimpinan Sultan Banjar sekaligus Bupati Banjar yaitu Raja Chairul Saleh dan Ratu Raudatuljanah itu sepenuhnya didukung oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

"Kami senang bisa tampil berpartisipasi dalam mengikuti misi kebudayaan Indonesia di luar negeri," ujar lulusan Mastrict University yang bangga bisa membawa rekan rekannya mangung di Tong Tong Fair.

Dikatakannya, Sangar Kesultanan Banjar yang sering tampil dalam berbagai acara-acara di daerah dalam acara Tong Tong Fair juga menampilkan Titik Laran, Japin Rantauan, Semangat Ratu Zaleha dan Maranting Intan dan tarian Radap Rahayu.

Tarian yang menggambarkan bidadari yang datang untuk menyelamatkan kekalahan perang dari prajurit Kerajaan Banjar yang akhirnya tarian ini digunakan dalam upacara menyambut tamu kehormatan ……….
………………………………………….

Berita di atas kukutip dari (T.H-ZG/B/F002/F002) 31-05-2011 08:38:59
http://antarajendeladunia.blogspot.com/

Setelah kucermati berita tersebut di atas :
1) Benarkah ada Sanggar Kesultanan Banjar yang sering tampil dalam berbagai acara-acara di daerah ? Sepengetahuanku rasanya belum ada Sanggar Kesultanan Banjar.
2) Tarian Radap Rahayu bukan menggambarkan bidadari yang datang untuk menyelamatkan kekalahan perang dari prajurit Kerajaan Banjar, yang benar adalah bidadari melakukan puja bantam (beradab-adab) dalam menyelamatkan Perahu Prabuyaksa yang kandas dan hampir tenggelam.
3) Sinopsis Tari Radab Rahayu saja keliru, jangan-jangan sinopsis Tari Semangat Ratu Zaleha, ragam geraknya keliru dan juga tidak menyebutkan namaku sebagai penciptanya atau diganti dengan nama orang lain soalnya tarian ini tidak seizinku.Dan setelah aku membaca Tabloit Urbana,06 Juni 2011,pelatih tari dan penarinya semuanya penari pemula,tidak profisional.*** (Arsyad Indradi)

Tari Semangat Ratu Zaleha ke Belanda



Temanku menelponku bahwa dia kaget membaca release di Media Kalimantan (aku lupa tanggal terbitnya),Kesultanan Banjar akan ke Eropah (Belanda) dengan tim kesenian tarinya membawakan beberapa tarian salah satunya Tari Semangat Ratu Zaleha. Dia kaget mengira aku ikut berangkat. Sebab baru saja kami bertemu di rumahku dan tidak tersentuh pun pembicaraan hal ini. Dia tahu tarian itu aku yang menciptanya. Balik aku juga kaget, sebab baru sekarang tahu Tarian ciptaanku itu di bawa ke Eropah, sebelumnya Tim Kesenian Kesultanan Banjar itu tak pernah konfermasi (izin) kepadaku sampai keberangkatannya ke Eropah. Aku agak bangga juga Tarian ciptaanku dibawa, namun sayangnya sebelumnya tidak pernah minta izin kepadaku. Jika tahu adat istiadat dan menjunjung tinggi “Pemangku Adat” tentu Tim kesenian Kesultanan Banjar ini akan “bapadah”. Sesunguhnya aku bukan ingin dihormati dan juga tidak ada sedikit pun niatan handak “bakasak” ikut tapi seyogyanyalah “bapadah” kepada koreografernya. Dan sejujurnya aku sangat berterima kasih dan akan mengizinkan dengan tulus. Dalam hal ini aku juga dapat berpartifasi membantu sewaktu penarinya sedang latihan siapa tahu ada hal-hal yang tidak pas dengan kreograferku. Sebab bagaimana pun juga ini menyangkut nama penciptanya manakala dibacakan sinopsis dan nama kreograpernya sebelum tarian itu ditampilkan. Apa lagi setelah kuketahui bahwa penari Tim Kesenian Kesultanan Banjar itu penari “pemula” tidak profisional.
Setelah temanku menelponku,aku menelpon Mama Rima (Isteri Raja Muda Pangeran Khairul Saleh) betapa kagetnya dan diluar pengetahuan beliau. Dalam hal ini beliau minta maaf dan “bapadah”. Aku mengizinkan dan bahkan mengiringi doa restu.. Tetapi aku tetap minta kepada beliau Tim Kesenian Kesultanan Banjar (yang bertanggung jawab) harus datang kepadaku. Ternyata sampai keberangkatan ke Eropah Tim ini tidak nampak batang hidungnya.
Sesungguhnya ini adalah merupakan pembelajaran bagi kita semua bahwa kita harus selalu menjunjung tinggi hak cipta dan menghargai hasil karya seniman ( maaf bukan seniman dadakan atau seniman tempelan ) agar Seni Budaya Banjar dan Adat Istiadat Tanah Banjar selalu lestari. Semoga. (Arsyad Indradi )

Minggu, 29 Mei 2011

Lomba Bakisah Bahasa Banjar

Pemenang Lomba Bakisah Bahasa Banjar berfoto dengan dewan juri dan Kepala Sekolah

SMP Negeri 1 Martapura Timur tidak ketinggalan memperingati Hardiknas dengan mengadakan kegiatan lomba seperti cerdas cermat,catur dan bakisah bahasa banjar dengan tema keagamaan antar Sekolah Dasar se Martapura Timur, tanggal 26,27dan 28 Mei 2011. Isnu Wahyono M.Pd selaku kepala Sekolah menjelaskan bahwa kegiatan ini memang merupakan iven tahunan dari Sekolah. Nur Lailayani ketua panitia pelaksana menambahkan,ini merupakan sosialisasi dalam rangka memperkenalkan SMP Negeri 1 Martapura Timur yang masih berusia muda. Hasil dari lomba Bakisah Bahasa Banjar adalah sbb.
Juara I : M.Ilmi dari SDN Akar Begantung
Juara II : Istirofah dari SDN Pekauman 2
Juara III : Siti Nur Latifah dari SDN Dalam Pagar Ulu

Selasa, 10 Mei 2011

Tari Daerah Banjar : Semangat Ratu Zaleha

Elok si bunga tanjung
Mekar di dalam taman
Elok budi bauntung
Pahlawan dalam kenangan

Serumpun Tanah Melayu
Pulau Pandan Angsana dua
Ikat simpul kita bersatu
Negri Banjar tanah pusaka

Koreografer : Arsyad Indradi
Penata Tari : Aprina Indradi, S.Sn



Sinopsis :

Ratu Zaleha putri Sultan Muhammad Seman cucu Pangeran Antasari, adalah pahlawan wanita Banjar pewaris terakhir perang Banjar 1905. Dengan semangat Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing, Ratu Zaleha bersama pasukannya mengusir penjajah Belanda dan mempertahankan Benteng Manawing dan Tambang Batu Bara Oranje Nassau. Ratu Zaleha dianggap macan wanita yang tidak mau tunduk kepada Belanda. Perang berjalan 5 tahun. Sedang fisik Ratu Zaleha sudah menurun, dan karena kuatnya serangan Belanda maka Benteng itu dapat direbut oleh Belanda. Ratu Zaleha diasingkan ke Bogor tahun 1906. Perjuangan Ratu Zaleha mencatat sejarah dan menjadi simbol tokoh emansipasi wanita Tanah Banjar.



Tari Semangat Ratu Zaleha ini telah dipergelarkan pada acara Rampak Gendang Nusantara XII di Malaka Bersejarah, Malaysia 7 sd 16 April 2009. Disamping tari ini juga dipergelarkan tari rakyat Banjar lainnya yaitu Tari Tirik Lalan, Tari Tirik Kuala dan Tari Maiwak serta Musik Panting mendendangkan lagu-lagu daerah Banjar (Kalsel).untuk masyarakat Malaka ***

Tari Banjar : Radap Rahayu


Pentas Malam Kesenian Grup Tari Selendang Mayang Mtp/Bjb,2011

Asal muasal Tari Radap Rahayu adalah ketika Kapal Perabu Yaksa yang ditumpangi Patih Lambung Mangkurat yang pulang lawatan dari Kerajaan Majapahit, ketika sampai di Muara Mantuil dan akan memasuki Sungai Barito, kapal Perabu Yaksa kandas di tengah jalan. Perahu menjadi oleng dan nyaris terbalik. Melihat ini, Patih Lambung Mangkurat lalu memuja “ Bantam” yakni meminta pertolongan pada Yang Maha kuasa agar kapal dapat diselamatkan. Tak lama dari angkasa turunlah tujuh bidadari ke atas kapal kemudian mengadakan upacara beradap-radap. Akhirnya kapal tersebut kembali normal dan tujuh bidadari tersebut kembali ke Kayangan. Kapal melanjutkan pulang ke Kerajaan Dwipa. Dari cerita ini lahirlah Tari “ Radap Rahayu “ ( anonim ). Tarian ini sangat terkenal di Kerajaan Banjar karena dipentaskan setiap acara penobatan raja serta pembesar-pembesar kerajaan dan juga sebagai tarian penyambut tamu kehormatan yang datang ke Banua Banjar, upacara perkawinan, dan upacara memalas banua sebagai tapung tawar untuk keselamatan. Tarian ini termasuk jenis tari klasik Banjar dan bersifat sakral.Dalam tarian ini diperlihatkan para bidadari dari kayangan turun ke bumi untuk memberikan doa restu serta keselamatan . Gerak ini diperlihatkan pada gerakan awal serta akhir tari dengan gerak “terbang layang”. Sayair lagu Tari Radap Rahayu diselingi dengan sebuah nyanyian yang isi syairnya mengundang makhluk-makhluk halus ( bidadari ) ketika ragam gerak “Tapung Tawar”, untuk turun ke bumi. Jumlah penari Radap Rahayu selalu menunjukkan bilangan ganjil, yaitu : 1,3,5,7 dan seterusnya. Tata Busana telah baku yaitu baju layang. Hiasan rambut mengggunakan untaian kembang bogam. Selendang berperan untuk melukiskan seorang bidadari, disertai cupu sebagai tempat beras kuning dan bunga rampai untuk doa restu dibawa para penari di tangan kiri. Seiring lenyapnya Kerajaan Dwipa, lenyap juga Tari Radap Rahayu. Tarian tersebut kembali digubah oleh seniman Kerajaan Banjar bernama Pangeran Hidayatullah. Namun kembali terlupakan ketika berkecamuknya perang Banjar mengusir penjajah Belanda. Pada tahun 1955 oleh seorang Budayawan bernama Kiayi Amir Hasan Bondan membangkitkan kembali melalui Kelompok Tari yang didirikannya bernama PERPEKINDO ( Perintis Peradaban dan Kebudayaan Indonesia) yang berkedudukan di Banjarmasin. Sampai saat ini PERPEKINDO masih aktif mengembangkan dan melestarikan Tari Radap Rahayu. (Arsyad Indradi )

Tari Banjar : Kuda Alas

Penata Tari : Arsyad Indradi

Pagelaran di Nusa Dua Bali,2004
Foto : A.Indradi

Sebuah tarian yang menggambarkan bagaimana binal dan liarnya kuda-kuda yang hidup di padang rumput terbuka atau di hutan – hutan yang lebat pepohonannya. mereka satu sama lain saling bersaing untuk mengusai padang rumput dan tak jarang terjadi perkelahian. Namun akhirnya kelompok – kelompok yang bertikai itu rukun bersatu. Karena mereka adalah satu jenis bernama kuda. Tarian ini adalah sebuah tarian kreasi baru yang diolah bersumber dari gerak-gerak tari rakyat atau tarian tradisional, seperti pada tarian wayang gong (wayang oarang) dan kuda gepang. Tarian ini kental sekali di dalam masyarakat Banjar. Tarian ini dipertunjukkan saat perayaan hari-hari besar baik daerah, nasional atau pun acara hiburan lainnya.

Tari Banjar : Baksa Kipas

Koreografer : Arsyad Indradi

Pagelaran di Nusa Dua Bali,2004
Foto : A.Indradi

Tari Baksa Kipas adalah sebuah tarian klasik yang hidup di masyarakat Banjar yaitu di daerah Sungai Asam Kecamatan Karang Intan Kabupaten banjar. Namun beberapa tahun silam tarian ini terlupakan dan akhirnya tenggelam.
Pada tahun 1985 Arsyad Indradi bersama seniman tari Kota Banjarbaru mengadakan riset dan menghidupkan kembali Tari Baksa Kipas ini. Tarian ini dikemas kembali karena yang mewarisi tarian ini sudah manula. Tarian ini menggambarkan gadis-gadis Banjar sedang bermain-main dan bergembira ria disuatu pertamanan. Hand propertis yang digunakan adalah kipas. Kipas ini merupakan hasil kerajinan masyarakat Banjar yang menjadi cendra mata bagi wisatawan yang datang ke Tanah Banjar.

Tari Banjar : Galuh Marikit

Koreografer : Arsyad Indradi

Pagelaran di Nusa Dua Bali,2004
Foto : A.Indradi

Sebuah tarian yang berjenis tari kreasi baru yang digarap bersumber dari gerak-gerak klasik dan dipadu dengan gerak tari rakyat setempat. Tarian ini hidup dan berkembang di daerah Kota Banjarbaru. Tarian ini menggambarkan bagaimana masyarakat Cempaka keserahariannya sebagai pendulang intan. Cempaka memang sebuah daerah yang banyak menghasilkan intan yang sangat terkenal baik di Indonesia maupun Manca Negara. Tarian Galuh Marikit ini menggambarkan suasana bagaimana Galuh Marikit yang menjadi idaman para pendulang, dengan gigih dan dengan segenap upaya agar dapat “mamicik” (memperoleh) Galuh Marikit tersebut. Kata “ Galuh Marikit “ adalah sebutan pengganti kata “intan”. Sebab, siapapun apa lagi bagi pendulang intan sangatlah tabu bila langsung menyebut kata “intan “ bila berada di daerah pendulangan terlebih lagi sewaktu sedang mendulang. Menurut kepercayaan, pendulang jika langsung menyebut kata intan maka intan tersebut akan menjauh atau menghilang. Dalam tarian ini ada beberapa pelaku yaitu : Galuh Marikit sebagai tokoh utama, Aamasan, titimahan, dan bebatuan lainnya sebagai pendukung ( babantalan ). Arsyad Indradi sebagai kreograper, menitik beratkan pada penokohan “Galuh Marikit”. Jadi gambaran pekerja pendulang adalah sebagai backgroundnya saja. Pelaku tarian ini adalah : Galuh Marikit, Aamasan, Titimahan, dan bebatuan lainnya sebagai pendukung (babantalan) sekaligus berperan sebagai pendulang.

Tari Banjar : Baksa Kembang


Pagelaran di Nusa Dua Bali,2004
Foto : A.Indradi

Tari Baksa Kembang termasuk jenis tari klasik, yang hidup dan berkembang di keraton Banjar, yang ditarikan oleh putri-putri keraton. Lambat laun tarian ini menyebar ke rakyat Banjar dengan penarinya galuh-galuh Banjar. Tarian ini dipertunjukkan untuk menghibur keluarga keraton dan menyambut tamu agung seperti raja atau pangeran . Setelah tarian ini memasyarakat di Tanah Banjar, berfungsi untuk menyambut tamu pejabat-pejabat negara dalam perayaan hari-hari besar daerah atau nasional. Disamping itu pula tarian Baksa Kembang dipertunjukkan pada perayaan pengantin Banjar atau hajatan misalnya tuan rumah mengadakan selamatan. Tarian ini memakai hand propertis sepasang kembang Bogam yaitu rangkaian kembang mawar, melati, kantil dan kenanga. Kembang bogan ini akan dihadiahkan kepada tamu pejabat dan isteri, setelah taraian ini selesai ditarikan. Sebagai gambaran ringkas, tarian ini menggambarkan putri-putri remaja yang cantik sedang bermain-main di taman bunga. Mereka memetik beberapa bunga kemudian dirangkai menjadi kembang bogam kemudian kembang bogam ini mereka bawa bergembira ria sambil menari dengan gemulai. Tari Baksa Kembang memakai Mahkota bernama Gajah Gemuling yang ditatah oleh kembang goyang, sepasang kembang bogam ukuran kecil yang diletakkan pada mahkota dan seuntai anyaman dari daun kelapa muda bernama halilipan. Tari Baksa Kembang biasanya ditarikan oleh sejumlah hitungan ganjil misalnya satu orang, tiga orang, lima orang dan seterusnya. Dan tarian ini diiringi seperangkat tetabuhan atau gamelan dengan irama lagu yang sudah baku yaitu lagu Ayakan dan Janklong atau Kambang Muni. Tarian Baksa Kembang ini di dalam masyarakat Banjar ada beberapa versi , ini terjadi setiap keturunan mempunya gaya tersendiri namun masih satu ciri khas sebagai tarian Baksa Kembang, seperti Lagureh, Tapung Tali, Kijik, Jumanang. Pada tahun 1990-an, Taman Budaya Kalimantan Selatan berinisiaf mengumpul pelatih-pelatih tari Baksa Kembang dari segala versi untuk menjadikan satu Tari Baksa Kembang yang baku. Setelah ada kesepakatan, maka diadakanlah workshoup Tari Baksa Kembanag dengan pesertanya perwakilan dari daerah Kabupaten dan Kota se Kalimantan Selatan. Walau pun masih ada yang menarikan Tari Baksa Kembang versi yang ada namun hanya berkisar pada keluarga atau lokal, tetapi dalam lomba, festival atau misi kesenian keluar dari Kalimantan Selatan harus menarikan tarian yang sudah dibakukan.******

*** Arsyad Indradi
Ketua/Pelatih "Galuh Marikit Dance Gruop " Banjarbaru

Tari Banjar : Tirik Lalan

Pesta Gendang Nusatara VII,Malaka-Malaysia,2004
Foto :A.Indradi (Bajarbaru)

Jenis tari hiburan. Tarian ini digali dari sebuah tari Bagandut pada tahun 1970-an yang berasal dari daerah Pandahan Kabupaten Tapin. Sebuah tarian yang romantik, yang menggambarkan seorang suami yang ingin merantau ke Tanah Jawa untuk mencari penghidupan yang layak, namun sang isteri rupanya tidak mengijinkan, sebab sang suami pergi tidak tentu entah berapa lamanya. Sang isteri begitu sedih. Sang suami dengan bujuk rayu dan memberikan pengertian pada sang isteri. Pada akhirnya sang isteri mengijinkan juga keberangkatan sang suami. Tarian ini ditampilkan pada acara hiburan dalam memperingati hari-hari besar baik lokal maupun nasional atau perayaan lainnya. ( Arsyad Indradi )




Senin, 02 Mei 2011

Mengenang Perjuangan Pahlawan Perempuan Ratu Zaleha

Mengenang para pahlawan perempuan ini membangkitkan motivasi patriotisme terhadap bangsa dan Negara Indonesia yang sekarang merdeka. Di mana generasi muda bangsa negeri ini terutama remaja putri Indonesia harus mengenal siapa- siapa saja pahlawan perempuan pendahulunya dalam memperjuangkan harkat martabat perempuan yang tertindas dan berjuang mengusir penjajah Belanda dan Jepang sampai titik darah yang penghabisan di kancah pertempuran.

Para pahlawan perempuan itu yang telah dikenal dan banyak pula yang terlupakan.Pahlawan perempuan itu sepeti Marta Christina tahun 1817 di Maluku, Nyi Ageng Serang (1752-1828) Jawa Tengah, Cut Nyak Dien (1850-1908) dan Cut Meutia (1870-1910) di Aceh., Dewi Sartika (1884-1947) di Bandung Jabar, Rohana Kudus (1884-1972) di Padang kemudian pindah ke Medan dan lain – lain.

Banyak pahlawan perempuan yang terlupakan dan luput dari perhatian para pekerja sejarah seperti sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia. Yakni, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan dan perempuan perkasa lainnya.

Dari sekian para pahlawan perempuan yang terlupakan itu ialah Gusti Zaleha. Gusti Zaleha adalah perempuan perkasa yang patut di ketahui dan patut dikenang sebagai pahlawan perempuan yang gigih memperjuangkan tanah Banjar dari tangan besi penjajah Belanda.

Gusti Zaleha putri dari Sultan Muhammad Seman, cucu dari Pangeran Antasari. Lahir di Lembah Sungai Barito, Muara Lawung,tahun 1880. Di masa anak-anak ia telah merasakan pahit getirnya perjuangan bersama ayahnya dan kakeknya melawan penjajah Belanda. Meninggalnya kakeknya Pangeran Antasari karena sakit, dia sangat kehilangan sekali kakeknya yang selalu mendidiknya agar perempuan Banjar berjiwa patriot dengan semboyan “Waja Sampai Kaputing”. Ketika mulai berangkat dewasa, dia bersama ayahnya terus gencar mengusir penjajah dan selalu diuber-uber Belanda sampai masuk hutan ke luar hutan.

Sebelum ayahnya meninggal Gusti Zaleha sempat diberi cincin kerajaan dari ayahnya. Sejak itu dia menggantikan ayahnya sebagai Sultan dan Pemimpin Perang Tertinggi kemudian diberi gelar Ratu Zaleha. Bersama suaminya Gusti Muhammad Arsyad terus melanjutkan perjuangan ayahnya. Gusti Muhammad Arsyad adalah saudara sepupunya putra dari pamannya Gusti Muhammad Said. Semasa ayahnya masih hidup, suaminya adalah panglima perang yang sangat dihandalkan ayahnya, dimana bersama suaminya pada tahun 1901 memporak porandakan penyerangan Belanda di daerah Barito.

Ratu Zaleha dapat menghimpun kekuatan dari suku – suku Dayak Dusun, Kenyah,Ngaju,Kayan,Siang,Bakumpai,Suku Banjar bersama seorang wanita pemuka Dayak Kenyah bernama Bulan Jihad seorang perempuan yang sangat pemberani yang selalu bahu membahu di medan pertempuran.

Selama masa perjuangan fisik Ratu Zaleha bersama Bulan Jihad (masuk Islam) tidak ketinggalan memberikan pelajaran baca tulis (Arab Melayu) dan ajaran agama Islam kepada anak-anak Banjar serta memberikan penyuluhan kepada perempuan – perempuan Banjar tentang peranan perempuan,ajaran agama Islam dan ilmu pengetahuan.

Ratu Zaleha sangat murka manakala suami dan pasukannya dilumpuhkan Belanda. Suaminya ditangkap lalu diasingkan ke Bogor pada 1904. Tetapi ia tidak pernah kenal surut dan terus mengadakan perlawanan yang tinggi mempertahankan Benteng Manawing dan Tambang Batu Bara Oranje Nassau atas gempuran Belanda yang lengkap alat persenjataannya.

Ratu Zaleha dianggap macan wanita yang tidak mau tunduk kepada Belanda. Perang berjalan 5 tahun. Tetapi kondisi fisik Ratu Zaleha mulai menurun karena kelelahan dan pasukannya juga satu persatu gugur dalam suatu pertempuran yang sangat tidak berimbang. Pada bulan Juni 1905, pasukan Ratu Zaleha dilumpuhkan dan dia ditanggkap kemudian bersama ibunya Nyai Salmah diasingkan ke Bogor bersama-sama suaminya Gusti Muhammad Arsyad.

Setelah tertawannya Ratu Zaleha maka berakhirlah “Perang Banjar” yang dimulai tahun 1859. Dan Belanda dengan leluasa menjajah di bumi Kalimantan ini.

Selama 31 tahun Ratu Zaleha bersama keluarganya dipengasingan kemudian diizinkan kembali ke Banjarmasin,1937. Dan pada tanggal 24 September 1953 Ratu Zaleha berpulang kerahmatullah, di makamkan dikomplek MakamRaja-Raja Banjar di Banjarmasin.

Pada tanggal 11 Januari 1954 Bulan Jihad turun dari gunung setelah 49 tahun mengasingkan diri. Dia sangat sedih setelah 4 bulan baru tahu Ratu Zaleha sahabatnya mendahuluinya.

Walaupun Ratu Zaleha telah tiada namun harum namanya tak pernah sirna di hati rakyat Kalimantan. Ratu Zaleha menjadi simbol emansipati waniti Banjar, juga namanya diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Umum di Martapura Kabupaten Banjar Kalsel.

Arsyad Indradi
Bjb,12 April 2011

Sumber bacaan :
1.Tokoh-Tokoh Pejuang Pada Kesultanan Kerajaan Banjar (Disbudpar,Kab.Banjar)
2.Pangeran Antasari oleh H.Hamlan Arpan (Mutiara Sumber Widya,1992)
3.Orang-Orang Terkemuka dalam Sejarah Kalimantan oleh Anggraini Antemas (BP>Anggraini Features Bjm,1971)