Minggu, 09 Oktober 2011

TADARUS PUISI 2011 (Padukan Proses Kreatif Penciptaan Puisi dan Pembacaannya)


Oleh: HE. Benyamine

Kota Banjarbaru kembali menggelar  Tadarus Puisi & Silaturrahmi Sastra (19 – 20/8) di bulan Ramadhan. Tahun  2011 ini merupakan kegiatan tadarus puisi yang ke-8. Penyelenggaraan kegiatan tadarus puisi yang sudah berlangsung sekian tahun secara berturut-turut merupakan pencapaian yang patut dibanggakan. Rasanya tidak berlebihan jika Ali Syamsuddin Arsi, penyair yang berdomisili di kota Banjarbaru, mengatakan kota Banjarbaru sebagai kota sastra. Selain kegigihan para penyairnya dalam berkarya,  Pemko Banjarbaru yang memfasilitasi berbagai kegiatan berkesenian dan mendukung berputarnya roda organisasi Dewan Kesenian Daerah Kota Banjarbaru, dan apresiasi dari sebagian warga dalam berkesenian dan bersastra.

Dalam penyelenggaraan tadarus puisi ini diarahkan sebagai panggung terbuka untuk siapa saja. Tidak harus penyair atau yang punya karya. Para penikmat sastra juga berperan aktif dalam agenda acara. Semua yang hadir mempunyai kesempatan yang sama untuk tampil atau mengekspresikan dirinya, seperti membaca puisi dan mengemukakan pandangannya tentang berbagai hal yang berkenaan dengan proses kreatif penciptaan atau pembacaan atas karya-karya yang lahir dari para penyair; dari sekian karya tersebut ada banyak penulisnya sendiri yang hadir. Proses kreatif penciptaan dan proses kreatif pembacaan seakan sedang bertemu dalam acara tadarus puisi.

Tadarus puisi juga menghamparkan “karpet merah” silaturrahmi bagi berbagai kalangan, baik antar sesama penyair maupun dengan yang bukan penyair, antara yang tua dan muda, antara pandangan yang sama dengan yang berlawanan, semuanya berbaur dalam satu panggung terbuka. Mereka yang hadir tidak hanya dari kota Banjarbaru, namun dari kota-kota lainnya yang ada di Kalimantan Selatan. Pertemuan yang menggoda proses kreatif penciptaan dan pembacaan. Perjamuan yang mengesankan dari berbuka puasa (sebagian) hingga sahur.

Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya yang mengapresiasi jejak kepenyairan mereka yang memang layak dan pantas menerima penghargaan dan penghormatan, tadarus puisi 2011 juga memberikan penghormatan kepada 3 (tiga) penyair kota Banjarbaru yang telah memberikan sebagian waktunya untuk proses kreatif penciptaan puisi dan karya kreatif lainnya, yaitu : (1). Muhammad Syarkawi Mar’ie, (2). Sri Supeni, dan (3). Yuniar M. Ary. Ketiganya telah menghadap ke sisi Allah SWT.

Pada penyelenggaraan sebelumnya, tadarus puisi telah mengapresiasi jejak kepenyairan sebagai wujud penghargaan dan penghormatan kepada: Jafry Zamzam(2007), Eza Thabry Husano dan Hamami Adaby (2008), M. Rifani Djamhari (2009), Arsyad Indradi Si Penyair Gila (2010). Salah satu penyair kota Banjarbaru, Eza Thabry Husano, tahun ini telah berpulang ke sisi Allah, semoga beliau dilapangkan dan dimudahkan. Suatu kehilangan yang mengharukan, karena hingga hari-hari terakhir beliau masih terus berkarya dan semangat yang kuat memotivasi generasi muda dalam proses kreatif penciptaan karya. Hanya doa kepada beliau-beliau yang telah kembali kepada Penciptanya, dan semoga karya beliau-beliau menjadi ilmu bermanfaat.

Pelaksanaan Tadarus Puisi & Silaturrahmi Sastra merupakan kerjasama Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga Kota Banjarbaru dengan Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kota Banjarbaru. Didukung kelompok, komunitas, dan sanggar seni yang ada di kota Banjarbaru. Sebuah sinergi yang membuka berbagai peluang yang positif dalam proses kreatif penciptaan dan pembacaan, di tengah apresiasi pada sastra yang masih dianggap rendah dan terabaikan dalam pengambilan kebijakan pemangku kekuasaan dan pemihakan dalam anggaran terhadap kegiatan budaya.

Melalui karya-karya para penyair dapat ditemukan adanya harapan dan kebanggaan pada kotanya, sebagaimana puisi Yuniar M. Ary yang berjudul Banjarbaru: “Di dadamu/kuberteduh/di hatimu/kumengeluh/dan di jantungmu/aku kan berlabuh/(menunggu ajal menjemput).” Atau dalam pandangannya tentang kota kecil di kaki bukit Mandiangin yang berubah menjadi kota metropolitan dengan deretan ruko, mobil, dan truk iblis dari utara yang berlomba mengencingi kota yang ada dalam puisi Surat Buat Walikota, yang ditutup dengan bait: “dan kau .../boleh bangga/di surga abahmu bertepuk dada/tuh anakku/dengan gagah/menata kota ... /(banua permai awal kemarau).

Begitu juga puisi Muhammad Syarkawi Mar’ie yang dalam momen hari kemerdekaan tetap terasa menguatkan untuk terus berjuang yang berjudul Teruskan Perjuangannya (1995): “renungan suci di malam yang sepi dan/gulita bukan sekedar doa, karena/perjalanan panjang belum tiba pada titik kemakmuran dan/keadilan yang merata//teruskan perjuangan mereka yang sudah tiada/lahir dan batin kita berjanji/tanpa sorak dan gempita/hutang kepada bumi dan matahari akan dilunasi”. Kobaran semangat untuk perjuangan ini tidak untuk melukis di langit dan nama, seperti angan-angan dan sekedar sebuah kehormatan nama, tapi merupakan sebuah perjalanan tanpa pamrih sebagaimana puisi Benamkan Dirimu Di Bumi Yang Sepi: “benamkan dirimu di bumi yang sepi/walaupun sudah menyiram tanah-tanah kering/dan mengusir kawanan serigala/yang tidak pernah tidur/dan tidak pernah lupa.”

Semangat yang sama dalam bilik yang berbeda begitu jelas terlihat pada Sri Supeni dalam puisi Terbanglah Jok (1983): “inilah hidup/terbanglah!/kau tahu apa arti lebih tinggi” dalam memandang sosok yang kokoh dalam mempertahankan prinsip dan keutamaan hidup. Semangat itu tertuju pada orang lain dan dirinya sendiri, untuk menyadari hidup adalah perjuangan.

Tadarus Puisi dan Silaturahmi Sastra ke-8 di Kota Banjarbaru sudah selayaknya mendapat apresiasi dari berbagai pihak, sebagai model bersinerginya berbagai komponen dalam upaya mengapresiasi proses kreatif penciptaan. Juga membuka pintu proses kreatif pembacaan terhadap karya-karya para penyair. Karya-karya tersebut tidak menjadi yatim piatu sebagaimana yang diungkapkan Abdurrahman El-Husaini dalam Kumpulan Puisi Bahasa Banjar, Doa Banyu Mata (Tahura Media, 2011) dengan judul Sakalinya (hal. 67): “Sakalinya/Yatim piatu ngitu/Bangaran puisi.” Dalam tadarus puisi terselip harapan bersama untuk saling menghargai dan mengapresiasi, dan tentunya ada tuntutan untuk memelihara yatim piatu sebagaimana bentuk karya lainnya.

(SKH Radar Banjarmasin, 17 Agustus 2011: 3)

Sabtu, 08 Oktober 2011

BURINIK SENI BUDAYA BANJAR


Oleh: HE. Benyamine

Keberadaan wujud seni budaya di tanah Banjar antara ada dan tiada, menurut penuturan yang sering terdengar ada tetapi sudah tidak eksis lagi dalam wujudnya, seperti tenggelam namun masih kelihatan riak-riaknya, beberapa kalangan menyebut hal ini  sebagai diistilahkan dengan sebutan  batang tarandam. Usaha untuk melestarikannya digemakan dengan sebutan maangkat batang tarandam. Keprihatinan demi keprihatinan atas tenggelamnya seni budaya Banjar sering terlontar di sembarang tempat, yang keras terdengar hanya seperti suara pinggiran, dan sesekali mengisi pidato-pidato elit kekuasaan.

Keprihatinan dan keterpanggilan dalam seni budaya Banjar yang terus mengalami keterpinggiran dapat dilihat dari apa yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang, sekecil apapun yang dilakukannya,  akan mempunyai makna yang sangat berarti dalam pelestarian seni budaya Banjar tersebut, bahkan hal itu lebih kepada menghidupkannya kembali dalam ruang pikir dan ruang hiburan masyarakat di mana seni budaya itu hidup dan berkembang dulunya. Upaya yang demikian terlihat dari kegiatan yang digagas Sainul Hermawan dengan Lamut Masuk Sekolah, sebagai contoh yang saat ini terlihat sebagai keteguhan atas ketidakpedulian yang massif. Hal yang sejajar terlihat juga dari karya Arsyad Indradi dalam Burinik (Kumpulan Puisi Bahasa Banjar dengan Bahasa Indonesia-nya) terbitan KSSB Banjarbaru 2011, yang menampilkan berbagai bentuk adat tradisi dan mitos dalam bentuk puisi bahasa Banjar dengan terjemahan bahasa Indonesia.

Dalam Burinik, Arsyad Indradi seperti ingin menegaskan bahwa banyak seni budaya Banjar yang tidak diperhatikan, bahkan generasi belakangan sudah banyak yang tidak mengetahui lagi apa itu Lamut, Badudus, Baahuy, Mamanda, dan lainnya. Sebagaimana digambarkannya pada setiap akhir puisi, seperti dalam Badudus

(penganten) dengan ungkapan, “Mudahan diingat turuntimurun kahada jua talupaakan”. Juga mengenai mitos dan cerita-cerita yang berhubungan dengan lingkungan dan alam sekitarnya, seperti dalam puisi Saekong Bekantan Bini yang ditamsilkan sebagai “Sosok ibu yang teramat ibu”.

Melalui puisi-puisi dalam bahasa Banjar dengan terjemahan bahasa Indonesia, Arsyad Indradi yang dikenal sebagai Penyair Gila, berusaha maangkat batang tarandam dengan upaya memindahkan sastra lisan ke sastra tulisan, karena saat ini sudah mulai ada perubahan dalam sastra lisan tersebut menjadi sastra dalam bentuk tulisan. Bahkan sebagian puisi-puisi dalam Burinik sengaja diberi notasi musik, yang merupakan suatu pengalaman dengan kerinduan urang Banjar pada dendang syair yang juga semakin tidak terdengar lagi. Dengan adanya notasi musik pada puisi-puisi tersebut membuka peluang puisi menjadi hiburan bagi yang mendengarnya, yang mendekatkan puisi pada telinga yang lebih mudah menerima sastra lisan. Salah satu puisi yang ada notasi musiknya adalah Maangkat Batang Tarandam yang lebih pada puisi penyemangat untuk bersama-sama menghidupkan seni budaya Banjar, sekecil apapun itu.

Dengan menyelipkan terjemahan dalam bahasa Indonesia, kumpulan puisi bahasa Banjar Burinik ini, secara langsung diharapkan dapat membantu pembaca yang bukan bahasa ibunya Banjar, sehingga dapat lebih menjangkau pembaca yang lebih luas. Hal ini merupakan suatu peluang bagi orang luar dalam mengenal seni budaya Banjar, yang dapat mendorong rasa ingin tahu dan perasaan yang lebih jauh dalam membayangkan pola pikir orang Banjar. Karena melalui puisi-puisi ini sebagian adat istiadat dan mitos di masyarakat Banjar tergambarkan dengan jelas, yang selama ini lebih banyak terdengar dari penuturan lisan.

Seperti Lamut, yang hingga saat ini belum ada cerita yang dilisankan Palamutan dalam bentuk tulisan atau buku sebagaimana naskah I La Galigo, yang oleh Arsyad Indradi dicoba diketengahkan dalam penggalan cerita dalam puisi Buah Sukma Biduri tentang istri Raden Kasan Mandi yang lagi mengidam, dengan akhir puisi yang menyatakan keprihatinan, “Tarbang mengalunngalun semakin ke ujung semakin menghilang/ … /Aku sudah tua/Aku seoranganlah yang tertinggal tiada siapasiapa lagi/Jika tiada yang meneruskan lamut bagaimana nasib senibudaya Banjar”.  Hal ini begitu sejalan dengan keprihatinan Sainul Hermawan tentang Lamut yang menjadikannya tertarik untuk bahan desertasinya. Jika memperhatikan cerita dan segi naskah sungguh panjang dan menarik untuk diteliti, karena dari cerita-cerita tersebut ada hal yang tersembunyi dan dapat menjadi petunjuk tentang perjalanan panjang penghuni tanah Banjar ini.

Di sini menjadi penting untuk mengupayakan berbagai sastra lisan ke dalam bentuk bahan bacaan, yang sebagiannya sudah mulai diperlihatkan Arsyad Indradi dan beberapa tokoh lainnya, yang cenderung sebagai suatu bentuk keprihatinan dan ketertarikan sendiri-sendiri saja. Sudah seharusnya  hal ini diarahkan menjadi kesadaran bersama-sama, dan tentunya harus dilakukan secara terencana untuk mendokumentasikan semua sastra lisan, sehingga generasi belakangan dapat menemukannya dalam perubahan budaya baca yang semakin meningkat saat ini dan yang akan datang.

Jadi, melalui Kumpulan Puisi Bahasa Banjar Burinik sebenarnya Arsyad Indradi ingin mengingatkan bahwa yang dimaksud batang tarandam benar-benar ada, namun masih terlihat sebagai burinik-burinik, dan masih merupakan cerita mulut ke mulut, belum dapat menunjukkan bahwa yang terendam itu benar-benar seni budaya Banjar yang dimaksud. Di samping itu, sebagian pihak masih disibukkan dengan burinik (riak), tanpa ada kepedulian yang sungguh-sungguh untuk menyelam dan melihat langsung asal burinik tersebut dan meangkatnya ke permukaan sebagai sesuatu seni budaya yang dapat lestari dan menghibur tentunya. Mungkin pada suatu saat, kita dapat melihat Arsyad Indradi mendendangkan puisi-puisi yang berisi seni budaya tersebut dalam suatu tampilan, atau beliau dapat mengadaptasi Lamut dengan isi cerita berasal dari puisi-puisi tersebut. Burinik, burinik, burinik … tentu ada sesuatu di dasarnya.





BANJARMASIN KOTA JAZIRAH CINTA


Oleh: HE. Benyamine


Kota Banjarmasin dikenal dengan julukan Kota Seribu Sungai, karena memang kota ini memiliki begitu banyak sungai baik yang alamiah maupun buatan (kanal). Meskipun saat ini sungai-sungai tersebut mengalami kerusakan yang begitu berat, hingga ada sungai yang menghilang, namun Kota Banjarmasin masih layak menyandang gelar Kota Seribu Sungai dengan sungai-sungai yang tersisa, sebagaimana dapat dilihat dari udara kota Banjarmasin seperti kumpulan pulau-pulau kecil. Kerusakan sungai-sungai saat ini sudah seharusnya menjadi perhatian yang serius dari Pemko Banjarmasin, karena keberadaan sungai tidak hanya berhubungan dengan julukan tapi lebih pada kelangsungan kota sebagai tempat hunian yang layak dan aman.

Untuk mengenal sebuah kota, selain dari julukan yang dilekatkan atau melalui promosi daerah dan dari mulut ke mulut mereka yang pernah datang, juga bisa ditemukan pada karya sastra. Melalui sebuah novel, sebuah kota dapat tergambar secara lebih luas, baik lingkungannya maupun manusianya dengan berbagai perilakunya. Sebuah novel yang mengambil latar cerita sebuah kota, cenderung secara tidak langsung merupakan promosi kota tersebut, yang akan mengundang rasa penasaran saat membaca novel tersebut dan memberikan bayangan tentang kota tersebut. Melalui novel juga, sebuah kota dapat memperoleh julukan baru, seperti Kota Banjarmasin yang diungkapkan sebagai Jazirah Cinta.

Apakah warga Kota Banjarmasin menyadari kota mereka diberi julukan sebagai Jazirah Cinta? Atau, apakah Pemko Banjarmasin mengetahui tentang julukan tersebut. Begitu juga dengan elit politik dan kekuasaan peduli dengan hal demikian. Tentu saja, apabila tidak pernah membaca novel Jazirah Cinta (Penerbit Zaman, Cet. I: 2008) karya Randu Alamsyah, ungkapan yang sungguh romantik dan religius tidak begitu dapat disadari ataupun diketahui oleh Pemko, warga, dan elit politik dan kekuasaan Kota Banjarmasin. Seperti yang diungkapkan berikut, “Mungkin suatu pagi yang kosong di tepian sungai Barito telah cukup untuk megobati gulanamu. Mungkin kebeningan itu hadir lewat lantunan azan yang menggetarkan dari menara Masjid Sabilal Muhtadien, jabat hangat dari anak-anak muda ceria yang selalu dihiasi senyum tulus di wajah mereka yang bersinar karena sering dibasuh wudu, aroma surgawi yang menghambur dari Samudra Jilbab putri-putri pesantren .... (hal.11)“ Suatu gambaran Kota Banjarmasin dan sekitarnya yang sangat menenangkan dan memberikan energi positif bagi orang-orang yang hidup di kota ini.

Novel sebagai sebuah karya fiksi, atau sebuah kehidupan rekaan penulisnya, juga mengandung informasi yang dapat disandingkan dengan realitas yang menjadi latar ceritanya. Seperti Kota Martapura yang digambarkan novel Jazirah Cinta dengan lautan manusia saat pengajian “Cahaya K.H. Zaini bin Abdul Gani di Sekumpul, Martapura” merupakan petunjuk bahwa pernah ada seorang tokoh ulama kharismatik dan dicintai di Kalimantan Selatan dan merupakan realitas yang sebenarnya. Hal ini merupakan suatu rekaman tentang suatu kota dengan aktivitasnya yang luar biasa yang terdokumentasi dalam sebuah karya sastra, yang mengingatkan tentang suasana kehidupan saat guru Sekumpul hidup.

Pernahkah walikota Banjarmasin atau Bupati Banjar mendengar cerita tentang sebuah kota sebagaimana dalam novel Jazirah Cinta, setidaknya jika tidak sempat membaca, pernah mendapat cerita tentang novel tersebut dari instansi yang terkait dengan kepariwisataan dan budaya atau dari istri walikota yang mungkin sempat membacanya. Jika tidak pernah mendengarnya atau membacanya, maka tidak pernah tahu bagaimana Kota Banjarmasin (juga Kota Martapura) digambarkan dengan “Perlahan kau akan menemukan kembali dirimu di sini. Kau akan merakit serpihan-serpihan kehancuranmu, menata hatimu, dan memulai kembali hidupmu.”   Sebagai ungkapan tentang kota yang dinyatakan dengan sebutan Jazirah Cinta, “Kau akan membingkai waktu-waktu terbaikmu di Jazirah Cinta, dan membingkainya menjadi kenang-kenangan hidup yang tak terlupakan.” Di sini tergambar bagaimana suatu karya sastra dapat menjadi rujukan bagi warganya sendiri dalam melihat kotanya maupun orang luar yang membaca buku berlatar kota Banjarmasin dan sekitarnya.

Sebagaimana novel Laskar Pelangi yang mengenalkan Bangka Belitung, novel Jazirah Cinta juga mempromosikan Kota Banjarmasin dan sekaligus memberinya julukan yang romantis dan religius. Di sini terlihat, karya sastra mempunyai bagiannya tersendiri dalam sumbangsihnya terhadap pembangunan daerahnya atau negara. Sungguh naif, ada elit politik atau kekuasaan yang mempertanyakan peran sastra dalam pembangunan, dan membandingkan dengan tugas dan fungsinya sebagai anggota dewan atau pegawai pemerintahan. Apalagi, jika pemerintah daerah atau elit politik yang tidak menganggap penting karya sastra dan para penggiatnya dengan mengabaikan dan tidak mempedulikannya; terlebih tidak pernah membaca karya sastra dari daerahnya sendiri.

Jadi, karya sastra (dari daerah) perlu mendapatkan apresiasi yang semestinya, terutama dari pemerintah daerah dan elit kekuasaan serta ekonomi, karena merupakan sebuah karya kreatif yang dapat menjadi inspirasi dalam mengasah kepekaan dalam menentukan kebijakan dan keputusan suatu kebijakan. Dunia rekaan atau fiksi, seperti novel, dapat menjangkau sesuatu yang tidak pernah terbayangkan padahal merupakan bagian kehidupan kita sehari-hari. Seperti tentang suasana dan masa kehidupan guru Sekumpul, yang bagi sebagian besar masyarakat merupakan kehidupan yang pernah dialami secara langsung dan menjadi biasa, namun tidak terbayangkan dalam suatu cerita di sebuah buku (novel) yang menghadirkan suasana itu meski beliau sudah kembali ke Pemilik hidup. Dinas kepariwisataan atau instansi terkait Kota Banjarmasin atau Kabupaten Banjar khususnya dan Kalimantan Selatan umumnya seharusnya berbangga dengan kehadiran novel Jazirah Cinta, yang tentu tidak berlebihan jika menjadikannya souviner bagi tamu daerah. Begitu juga terhadap karya sastra lainnya.

(Media Kalimantan, 5 Juli 2011: C5 -- Halaman Seni & Budaya)