Pertunjukkan lakon wayang kulit telah menjalani proses hidup dari zaman ke zaman.
Pada masa kejayaan Agama Hindu dan Budha, wayang kulit adalah santapan rohani bagi penganutnya yang dibawakan oleh para biku atau pun biksu yang berpusat di Candi Penataran di Jawa Timur. Cerita yang dibawakan adalah cerita Ramayana yang disusun oleh Walmiki dan Mahabharata yang disusun oleh Wiyasa.
Pada abad XVI , wayang kulit mengalami perubahan dan pembaharuan dalam segi makna dan sifatnya setelah Kesultanan Demak mengembangkan Agama Islam di tanah Jawa. Seorang dari Wali Sanga yang bernama Sunan Kalijaga menghapus sifat magis wayang, karena wayang bukanlah gambaran wajah roh nenek moyang yang memiliki kekuatan magis, tetapi hanya merupakan gambaran wajah tokoh cerita.
Sunan Kalijaga tidak hanya mempergelarkan lakon – lakon Ramayana ataupun Mahabharata tetapi juga mempergelarkan cerita – cerita rakyat Jawa. Dan wayang yang berupa upacara keagamaan dan pemujaan Dewa dengan cara yang rapi ditinggalkan dan menciptakan wayang Punakawan ( Semar, Petruk, Gareng dan Bagong ) dengan dagelannya sehingga para penganut agama Hindu dan Budha yang menonton wayang Triwali itu merasa lebih tertarik dari pada wayang Hindu yang membawa cerita, monoton dan membosankan. Disamping itu, tokoh Darmakasuma mempunyai ajimat Kalimasada yang pada wayang Hindu tidak ada. Yang lebih menarik lagi, dalang Triwali menggubah cerita carangan, yaitu cerita di luar ‘pakem’.
Bagaimana wayang kulit di tanah Banjar ?
Seiring masuknya agama Islam dan senibudaya dari Kerajaan Demak, setelah Raja Banjar Pangeran Suriansyah mengucapkan Duakalimahsahadat, di abad XVI itu, kesenian wayang kulit mulai diperkenalkan dan berkembang hidup di tanah Banjar.
Para dalang Banjar masih tetap sebagai pewaris Triwali, wayang kulit sebagai media da’wah agama Islam dan dimana pagelaran wayang kulit merupakan penuntun berbuat kebaikan, kebenaran, keadilan, kejujuran, dan patriotisme.
Dalam perkembangan wayang kulit di tanah Banjar, ada pagelaran wayang kulit berupa ‘manyampir’ namun ‘sampir’ ini oleh dalang yang beragama Islam bukanlah ’haul’ atau memperingati para arwah nenek moyang dengan segala sesajennya melainkan upacara selamatan yakni menghaul nenek moyang dan ‘tulak bala’, dengan doa selamat dan doa arwah.
Pertunjukkan wayang kulit sangat digemari oleh rakyat ( masyarakat ) Banjar. Jika ada acara hari besar baik nasional maupun daerah, acara perkawinan atau pun acara lainnya, pertunjukan wayang tak luput dari penonton yang berlimpah ruah. Penontonnya tentu saja beragam, orang – tua, dewasa, remaja bahkan anak – anak. Apalagi jika dalangnya ‘Tulur’ ( dari desa Barikin Kabupaten Hulu Sungai Tengah ) seorang dalang senior yang sangat terampil memainkan wayang dan menuturkan cerita. Seorang dalang yang konon dapat mengusir hujan manakala sedang berlangsung pertunjukkan wayang kulit. Setelah dalang Tulur meninggal, dalang ‘Utuh Aini ( dari Banjarmasin ) melanjutkan kehidupan wayang. Dalang Utuh Aini meninggal, dilanjutkan oleh dalang Rundi, Busrajuddin dan Pedalang lainnya..
Namun tampaknya beberapa tahun ini kehidupan wayang kulit Banjar semakin berkurang penontonnya dan kekhawatiran matinya wayang Banjar sangat beralasan.
Di era globalosasi ini, peradaban manusia semakin bergeser dari porosnya, ilmu pengetahuan dan teknologi semakin maju. Maka apakah wayang kulit masih bertahan pada paradigma lama ? Wayang kulit seyogyanyalah merubah sikap, meninggalkan paradigma lama itu, pandai mengikuti perkembangan zaman dan lebih lagi berani bersaing dengan tayangan yang ada di TV atau pun di tempat pertunjukkan lainnya.
Dalam hal ini, Pedalang itu sendiri harus inovatif. Merenovasi seluruh keberadaan wayang kulit seperti belincongnya memakai lampu listrik, kelir yang berornamen indah dan selalu diganti kalau sudah kadaluarsa, sound systim yang memadai apalagi kalau bisa yang canggih, dalang dan seluruh crew penabuh gamelannya berkostum seragam daerah Banjar. Dari sisi irama musik, agar tidak monoton, disamping lagu yang ada seperti lagu lasam sepuluh ( sebagai pembuka dari dalang ), lagu ayakan, lagu paparangan ancap dan paparangan alun, dan lagu liong perlu mengaransir lagu lain sebagai pemerkaya irama musik untuk plot atau suasana cerita. Perangkat gamelan selalu distim agar menghasilkan paduan musik yang harmonis. Perletakkan jejer wayang di atas gadang ( gedebuk ) benar – benar artistik. Dan tak kalah pentingnya selalu menciptakan cerita sesuai dengan tuntutan zaman namun tidak lepas dari pakemnya.
Umumnya pertunjukkan wayang adalah semalam suntuk. Tetapi ini perlu juga kita petimbangkan. Seperti halnya pertunjukan teater teradisional “ Mamanda “. Pertunjukkan Mamanda dapat menuntaskan cerita dalam durasi dua atau tiga jam. Alhasil, setiap pertunjukkan Mamanda selalu berjobel penontonnya.
Nah, bagaimana pertunjukkan wayang ?
Ada beberapa solusi lain untuk kembali menggairahkan kehidupan wayang kulit Banjar. Tentu saja ini ada kaitannya dengan PEPADI Komda Tingkat I Kalimantan Selatan. PEPADI perlu merancang program kerja dan melaksanakannya seperti sarasehan, seminar, diskusi tentang wayang Banjar atau bentuk lainnya. PEPADI sedini mungkin menyiapkan kader – kader Pedalang dan penabuh gamelan baik tingkat anak – anak sampai tingkat dewasa seperti mengadakan work shop dalang atau khusus pelatihan menyindin dan teknik memainkan wayang dan berupaya memproduksi wayang.
Dan adanya kerja sama yang baik ( program terpadu ) antara Disparsenibud, Dewan Kesenian ( andai ada yang masih hidup ) dan PEPADI seperti menyelenggarakan Festival pertunjukkan wayang kulit, lomba mendalang baik tingkat anak – anak sampai tingkat dewasa, lomba menyindin, lomba mengarang cerita wayang, dan mengadakan pagelaran wayang kulit pada acara perayaan misalnya hari besar nasional dan daerah. DPRD, Gubernur, Bupati dan Walikota sebagai fasilitator yang selalu memback up finansialnya.
Disamping itu tak ketinggalan masyarakat Banjarnya. Masyarakat Banjar tetap menumbuhkan kepedulian dan kecintaan terhadap wayang sebab seni wayang adalah salah satu khasanah senibudaya daerahnya dan salah satu pusaka peninggalan ‘urang bahari’ nang harus kita partahanakan sampai kamati. Semoga.******
Pada masa kejayaan Agama Hindu dan Budha, wayang kulit adalah santapan rohani bagi penganutnya yang dibawakan oleh para biku atau pun biksu yang berpusat di Candi Penataran di Jawa Timur. Cerita yang dibawakan adalah cerita Ramayana yang disusun oleh Walmiki dan Mahabharata yang disusun oleh Wiyasa.
Pada abad XVI , wayang kulit mengalami perubahan dan pembaharuan dalam segi makna dan sifatnya setelah Kesultanan Demak mengembangkan Agama Islam di tanah Jawa. Seorang dari Wali Sanga yang bernama Sunan Kalijaga menghapus sifat magis wayang, karena wayang bukanlah gambaran wajah roh nenek moyang yang memiliki kekuatan magis, tetapi hanya merupakan gambaran wajah tokoh cerita.
Sunan Kalijaga tidak hanya mempergelarkan lakon – lakon Ramayana ataupun Mahabharata tetapi juga mempergelarkan cerita – cerita rakyat Jawa. Dan wayang yang berupa upacara keagamaan dan pemujaan Dewa dengan cara yang rapi ditinggalkan dan menciptakan wayang Punakawan ( Semar, Petruk, Gareng dan Bagong ) dengan dagelannya sehingga para penganut agama Hindu dan Budha yang menonton wayang Triwali itu merasa lebih tertarik dari pada wayang Hindu yang membawa cerita, monoton dan membosankan. Disamping itu, tokoh Darmakasuma mempunyai ajimat Kalimasada yang pada wayang Hindu tidak ada. Yang lebih menarik lagi, dalang Triwali menggubah cerita carangan, yaitu cerita di luar ‘pakem’.
Bagaimana wayang kulit di tanah Banjar ?
Seiring masuknya agama Islam dan senibudaya dari Kerajaan Demak, setelah Raja Banjar Pangeran Suriansyah mengucapkan Duakalimahsahadat, di abad XVI itu, kesenian wayang kulit mulai diperkenalkan dan berkembang hidup di tanah Banjar.
Para dalang Banjar masih tetap sebagai pewaris Triwali, wayang kulit sebagai media da’wah agama Islam dan dimana pagelaran wayang kulit merupakan penuntun berbuat kebaikan, kebenaran, keadilan, kejujuran, dan patriotisme.
Dalam perkembangan wayang kulit di tanah Banjar, ada pagelaran wayang kulit berupa ‘manyampir’ namun ‘sampir’ ini oleh dalang yang beragama Islam bukanlah ’haul’ atau memperingati para arwah nenek moyang dengan segala sesajennya melainkan upacara selamatan yakni menghaul nenek moyang dan ‘tulak bala’, dengan doa selamat dan doa arwah.
Pertunjukkan wayang kulit sangat digemari oleh rakyat ( masyarakat ) Banjar. Jika ada acara hari besar baik nasional maupun daerah, acara perkawinan atau pun acara lainnya, pertunjukan wayang tak luput dari penonton yang berlimpah ruah. Penontonnya tentu saja beragam, orang – tua, dewasa, remaja bahkan anak – anak. Apalagi jika dalangnya ‘Tulur’ ( dari desa Barikin Kabupaten Hulu Sungai Tengah ) seorang dalang senior yang sangat terampil memainkan wayang dan menuturkan cerita. Seorang dalang yang konon dapat mengusir hujan manakala sedang berlangsung pertunjukkan wayang kulit. Setelah dalang Tulur meninggal, dalang ‘Utuh Aini ( dari Banjarmasin ) melanjutkan kehidupan wayang. Dalang Utuh Aini meninggal, dilanjutkan oleh dalang Rundi, Busrajuddin dan Pedalang lainnya..
Namun tampaknya beberapa tahun ini kehidupan wayang kulit Banjar semakin berkurang penontonnya dan kekhawatiran matinya wayang Banjar sangat beralasan.
Di era globalosasi ini, peradaban manusia semakin bergeser dari porosnya, ilmu pengetahuan dan teknologi semakin maju. Maka apakah wayang kulit masih bertahan pada paradigma lama ? Wayang kulit seyogyanyalah merubah sikap, meninggalkan paradigma lama itu, pandai mengikuti perkembangan zaman dan lebih lagi berani bersaing dengan tayangan yang ada di TV atau pun di tempat pertunjukkan lainnya.
Dalam hal ini, Pedalang itu sendiri harus inovatif. Merenovasi seluruh keberadaan wayang kulit seperti belincongnya memakai lampu listrik, kelir yang berornamen indah dan selalu diganti kalau sudah kadaluarsa, sound systim yang memadai apalagi kalau bisa yang canggih, dalang dan seluruh crew penabuh gamelannya berkostum seragam daerah Banjar. Dari sisi irama musik, agar tidak monoton, disamping lagu yang ada seperti lagu lasam sepuluh ( sebagai pembuka dari dalang ), lagu ayakan, lagu paparangan ancap dan paparangan alun, dan lagu liong perlu mengaransir lagu lain sebagai pemerkaya irama musik untuk plot atau suasana cerita. Perangkat gamelan selalu distim agar menghasilkan paduan musik yang harmonis. Perletakkan jejer wayang di atas gadang ( gedebuk ) benar – benar artistik. Dan tak kalah pentingnya selalu menciptakan cerita sesuai dengan tuntutan zaman namun tidak lepas dari pakemnya.
Umumnya pertunjukkan wayang adalah semalam suntuk. Tetapi ini perlu juga kita petimbangkan. Seperti halnya pertunjukan teater teradisional “ Mamanda “. Pertunjukkan Mamanda dapat menuntaskan cerita dalam durasi dua atau tiga jam. Alhasil, setiap pertunjukkan Mamanda selalu berjobel penontonnya.
Nah, bagaimana pertunjukkan wayang ?
Ada beberapa solusi lain untuk kembali menggairahkan kehidupan wayang kulit Banjar. Tentu saja ini ada kaitannya dengan PEPADI Komda Tingkat I Kalimantan Selatan. PEPADI perlu merancang program kerja dan melaksanakannya seperti sarasehan, seminar, diskusi tentang wayang Banjar atau bentuk lainnya. PEPADI sedini mungkin menyiapkan kader – kader Pedalang dan penabuh gamelan baik tingkat anak – anak sampai tingkat dewasa seperti mengadakan work shop dalang atau khusus pelatihan menyindin dan teknik memainkan wayang dan berupaya memproduksi wayang.
Dan adanya kerja sama yang baik ( program terpadu ) antara Disparsenibud, Dewan Kesenian ( andai ada yang masih hidup ) dan PEPADI seperti menyelenggarakan Festival pertunjukkan wayang kulit, lomba mendalang baik tingkat anak – anak sampai tingkat dewasa, lomba menyindin, lomba mengarang cerita wayang, dan mengadakan pagelaran wayang kulit pada acara perayaan misalnya hari besar nasional dan daerah. DPRD, Gubernur, Bupati dan Walikota sebagai fasilitator yang selalu memback up finansialnya.
Disamping itu tak ketinggalan masyarakat Banjarnya. Masyarakat Banjar tetap menumbuhkan kepedulian dan kecintaan terhadap wayang sebab seni wayang adalah salah satu khasanah senibudaya daerahnya dan salah satu pusaka peninggalan ‘urang bahari’ nang harus kita partahanakan sampai kamati. Semoga.******
1 komentar:
inggih amun kawa di'adakan wok shop wayang kulit dan musik gemalan pank....
insyaALLAH banyak haja urang yang umpat...contoh nya ulun hakun banar jadi dalang....
mengadakan wok shop kalau bisa di taman budaya(GOS).di sanakan banyak haja penabuh....
terima kasih.
Posting Komentar