Oleh: HE. Benyamine
Kota Banjarbaru
kembali menggelar Tadarus Puisi & Silaturrahmi Sastra (19 – 20/8) di
bulan Ramadhan. Tahun 2011 ini merupakan kegiatan tadarus puisi yang ke-8.
Penyelenggaraan kegiatan tadarus puisi yang sudah berlangsung sekian tahun
secara berturut-turut merupakan pencapaian yang patut dibanggakan. Rasanya
tidak berlebihan jika Ali Syamsuddin Arsi, penyair yang berdomisili di kota Banjarbaru, mengatakan kota
Banjarbaru sebagai kota
sastra. Selain kegigihan para penyairnya dalam berkarya, Pemko Banjarbaru
yang memfasilitasi berbagai kegiatan berkesenian dan mendukung berputarnya roda
organisasi Dewan Kesenian Daerah Kota Banjarbaru, dan apresiasi dari sebagian
warga dalam berkesenian dan bersastra.
Dalam
penyelenggaraan tadarus puisi ini diarahkan sebagai panggung terbuka untuk
siapa saja. Tidak harus penyair atau yang punya karya. Para
penikmat sastra juga berperan aktif dalam agenda acara. Semua yang hadir
mempunyai kesempatan yang sama untuk tampil atau mengekspresikan dirinya,
seperti membaca puisi dan mengemukakan pandangannya tentang berbagai hal yang
berkenaan dengan proses kreatif penciptaan atau pembacaan atas karya-karya yang
lahir dari para penyair; dari sekian karya tersebut ada banyak penulisnya
sendiri yang hadir. Proses kreatif penciptaan dan proses kreatif pembacaan
seakan sedang bertemu dalam acara tadarus puisi.
Tadarus puisi
juga menghamparkan “karpet merah” silaturrahmi bagi berbagai kalangan, baik
antar sesama penyair maupun dengan yang bukan penyair, antara yang tua dan
muda, antara pandangan yang sama dengan yang berlawanan, semuanya berbaur dalam
satu panggung terbuka. Mereka yang hadir tidak hanya dari kota Banjarbaru, namun dari kota-kota lainnya
yang ada di Kalimantan Selatan. Pertemuan yang menggoda proses kreatif
penciptaan dan pembacaan. Perjamuan yang mengesankan dari berbuka puasa
(sebagian) hingga sahur.
Sebagaimana
tahun-tahun sebelumnya yang mengapresiasi jejak kepenyairan mereka yang memang
layak dan pantas menerima penghargaan dan penghormatan, tadarus puisi 2011 juga
memberikan penghormatan kepada 3 (tiga) penyair kota Banjarbaru yang telah
memberikan sebagian waktunya untuk proses kreatif penciptaan puisi dan karya kreatif
lainnya, yaitu : (1). Muhammad Syarkawi Mar’ie, (2). Sri Supeni, dan (3).
Yuniar M. Ary. Ketiganya telah menghadap ke sisi Allah SWT.
Pada
penyelenggaraan sebelumnya, tadarus puisi telah mengapresiasi jejak kepenyairan
sebagai wujud penghargaan dan penghormatan kepada: Jafry Zamzam(2007), Eza
Thabry Husano dan Hamami Adaby (2008), M. Rifani Djamhari (2009), Arsyad
Indradi Si Penyair Gila (2010). Salah satu penyair kota Banjarbaru, Eza Thabry Husano, tahun ini telah
berpulang ke sisi Allah, semoga beliau dilapangkan dan dimudahkan. Suatu
kehilangan yang mengharukan, karena hingga hari-hari terakhir beliau masih
terus berkarya dan semangat yang kuat memotivasi generasi muda dalam proses
kreatif penciptaan karya. Hanya doa kepada beliau-beliau yang telah kembali
kepada Penciptanya, dan semoga karya beliau-beliau menjadi ilmu bermanfaat.
Pelaksanaan
Tadarus Puisi & Silaturrahmi Sastra merupakan kerjasama Dinas Kebudayaan,
Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga Kota Banjarbaru dengan Dewan Kesenian Daerah
(DKD) Kota Banjarbaru. Didukung kelompok, komunitas, dan sanggar seni yang ada
di kota
Banjarbaru. Sebuah sinergi yang membuka berbagai peluang yang positif dalam
proses kreatif penciptaan dan pembacaan, di tengah apresiasi pada sastra yang
masih dianggap rendah dan terabaikan dalam pengambilan kebijakan pemangku
kekuasaan dan pemihakan dalam anggaran terhadap kegiatan budaya.
Melalui
karya-karya para penyair dapat ditemukan adanya harapan dan kebanggaan pada
kotanya, sebagaimana puisi Yuniar M.
Ary yang berjudul Banjarbaru:
“Di dadamu/kuberteduh/di
hatimu/kumengeluh/dan di jantungmu/aku kan
berlabuh/(menunggu ajal menjemput).” Atau dalam pandangannya
tentang kota kecil di kaki bukit Mandiangin yang berubah menjadi kota
metropolitan dengan deretan ruko, mobil, dan truk iblis dari utara yang
berlomba mengencingi kota yang ada dalam puisi Surat Buat Walikota, yang ditutup dengan bait: “dan kau .../boleh bangga/di surga abahmu bertepuk
dada/tuh anakku/dengan gagah/menata kota ... /(banua permai awal kemarau).
Begitu juga puisi
Muhammad Syarkawi Mar’ie
yang dalam momen hari kemerdekaan tetap terasa menguatkan untuk terus berjuang
yang berjudul Teruskan Perjuangannya
(1995): “renungan suci di malam yang sepi
dan/gulita bukan sekedar doa, karena/perjalanan panjang belum tiba pada titik
kemakmuran dan/keadilan yang merata//teruskan perjuangan mereka yang sudah
tiada/lahir dan batin kita berjanji/tanpa sorak dan gempita/hutang kepada bumi
dan matahari akan dilunasi”. Kobaran semangat untuk perjuangan ini
tidak untuk melukis di langit dan nama, seperti angan-angan dan sekedar sebuah
kehormatan nama, tapi merupakan sebuah perjalanan tanpa pamrih sebagaimana
puisi Benamkan Dirimu Di Bumi Yang Sepi:
“benamkan dirimu di bumi yang sepi/walaupun
sudah menyiram tanah-tanah kering/dan mengusir kawanan serigala/yang tidak
pernah tidur/dan tidak pernah lupa.”
Semangat yang
sama dalam bilik yang berbeda begitu jelas terlihat pada Sri Supeni dalam puisi
Terbanglah Jok (1983): “inilah
hidup/terbanglah!/kau tahu apa arti lebih tinggi” dalam memandang
sosok yang kokoh dalam mempertahankan prinsip dan keutamaan hidup. Semangat itu
tertuju pada orang lain dan dirinya sendiri, untuk menyadari hidup adalah
perjuangan.
Tadarus Puisi dan
Silaturahmi Sastra ke-8 di Kota Banjarbaru sudah selayaknya mendapat apresiasi
dari berbagai pihak, sebagai model bersinerginya berbagai komponen dalam upaya
mengapresiasi proses kreatif penciptaan. Juga membuka pintu proses kreatif
pembacaan terhadap karya-karya para penyair. Karya-karya tersebut tidak menjadi
yatim piatu sebagaimana yang diungkapkan Abdurrahman El-Husaini dalam Kumpulan
Puisi Bahasa Banjar, Doa Banyu Mata (Tahura Media, 2011) dengan judul Sakalinya
(hal. 67): “Sakalinya/Yatim piatu
ngitu/Bangaran puisi.”
Dalam tadarus puisi terselip harapan bersama untuk saling menghargai dan
mengapresiasi, dan tentunya ada tuntutan untuk memelihara yatim piatu
sebagaimana bentuk karya lainnya.
(SKH
Radar Banjarmasin,
17 Agustus 2011: 3)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar