oleh Sainul Hermawan
Akhir-akhir ini (sejak September 2010) ada perbincangan menarik di kalangan pemerhati budaya di Kalimantan Selatan (Kalsel) tentang pelestarian budaya Banjar kontemporer di tengah rendahnya perhatian pemerintah yang seharusnya merawatnya. Pembicaraan tersebut dipicu oleh rencana bupati Banjar yang ingin membangun replika keraton Banjar sebagai salah satu upaya pelestarian budaya. Pemkab Banjar di lamannya telah melakukan jajak pendapat tentang lokasi idealnya. Sampai 10 Oktober 2010, telah terkumpul 260 suara yang 65% setuju lokasinya di Kabupaten Banjar. Untuk mendapatkan gambaran otentik dari rencana tersebut kita bisa lihat di website Lembaga Adat dan Kekerabatan Kesultanan Banjar (LAKKB)[1]
Ada pernyataan menarik di laman itu untuk dicermati dengan seksama oleh masyarakat Banjar, terkait dengan dasar hukum rencana pembangunan itu, yaitu Permendagri Nomor 39 Tahun 2007. Selengkapnya, kutipan berita di laman itu sebagai berikut:
Bupati Banjar juga menyebutkan, dia sudah menyiapkan lahan seluas 2 hektar sebagai areal pembangunan Keraton Banjar. Terkait dengan pembangunan Keraton Banjar, berdasarkan Permendagri Nomor 39 Tahun 2007 tentang pedoman fasilitasi organisasi kemasyarakatan bidang kebudayaan, keraton dan lembaga adat dalam pelestarian dan pengembangan budaya daerah, memuat pernyataan bahwa pembangunan keraton, lembaga adat, bisa didanai oleh pemerintah melalui APBD.
Berapakah biaya pembangunan istana atau keraton Kesultanan Banjar? “Pembangunan Keraton Banjar oleh provinsi, tanahnya oleh Kabupaten Banjar. Dananya juga dianggarkan provinsi. Berapa biayanya, saya tidak tahu. Ini urusan Balitbang Kalsel, kalau kurang ditambah dengan APBN atau perantau Banjar di luar negeri dan luar daerah yang berjanji membantu mewujudkan pembangunannya. Pembangunan Keraton Banjar akan mengacu pada rumah Banjar. Realisasi pembangunannya 2011,” papar Khairul Saleh, yang belum lama tadi diangkat sebagai ketua Forum Silaturahmi Kesultanan se Nusantara (FSKN) wilayah Kalsel.
Jika dibaca sepintas, Permendagri yang disebutkan tersebut seakan menjadi dasar hukum pembangunan keraton, tapi bacalah sendiri dengan seksama bahwa Permendagri itu bukan dasar untuk membangun keraton. Bunyi pertimbangan dikeluarkannya peraturan menteri ini dapat dibaca pada butir d yang berbunyi: bahwa organisasi kemasyarakatan bidang kebudayaan, keraton, dan lembaga adat di daerah memiliki potensi besar untuk berperanserta dalam pengembangan dan pelestarian adat budaya. Artinya, peraturan ini menjadi dasar bagi yang telah memiliki keraton untuk mengembangkan kegiatan budaya, bukan untuk mendirikan keraton yang telah musnah. Dalam Permendagri tersebut tidak ada pernyataan bahwa pembangunan keraton, lembaga adat, bisa didanai oleh pemerintah melalui APBD. Pernyataan ini adalah tafsiran yang sangat arbitrer terhadap maksud pasal 10.
Dalam pasal 10 ayat 1 dinyatakan: Penyelenggaraan kegiatan pelestarian dan pengembangan budaya daerah yang melibatkan ormas kebudayaan, keraton dan lembaga adat didukung pendanaannya dari anggaran pendapatan dan belanja daerah propinsi dan/atau kabupaten/kota, serta sumber-sumber lain yang sah. Dengan kata lain, provinsi hanya boleh mendanai jika keraton itu telah berdiri dan telah menyelenggarakan kegiatan pelestarian dan pengembangan budaya.
Lebih aneh lagi jika yang akan tampil sebagai pangeran dalam keraton yang direncanakan dibangun itu adalah orang yang saat ini sedang menjabat sebagai bupati, karena dalam Permendagri itu jelas-jelas disebutkan pada pasal 1 bahwa yang dimaksud dengan kepala adalah Gubernur, Bupati dan Walikota. Artinya, ketiga pihak ini tak berhak sekaligus berfungsi ganda sebagai pangeran di keraton yang akan dibangun.
Jika bupati sekaligus jadi pangeran keraton, akan tampak lucu jika melaksanakan tata laksana kegiatan sebagaimana tercantum dalam Bab IV, pasal 6, ayat 1, yang berbunyi: Kepala daerah mengundang pimpinan ormas kebudayaan, keraton, dan lembaga adat untuk menyampaikan usulan program pelestarian dan pengembangan budaya daerah. Artinya, jika memang bupati lebih tertarik untuk menjadi pemimpin keraton, dia harus melepaskan jabatannya sebagai bupati.
Peraturan ini menegaskan bahwa pengembangan budaya daerah saat ini bukan lagi tugas Jakarta. Wewenang telah pindah ke daerah. Maju mundurnya kebudayaan di daerah akan ditentukan oleh tepat tidaknya sasaran pembangunannya.
Peraturan ini juga menjadi dasar bagi budayawan di Kalsel untuk membentuk ormas kebudayaan yang berhak pula untuk didanai oleh APBD sebaimana tercantum dalam pasal 1 ayat 6: Organisasi kemasyarakatan bidang kebudayaan yang selanjutnya disebut ormas kebudayaan adalah organisasi nonpemerintah bervisi kebangsaan yang dibentuk oleh warganegara Indonesia secara sukarela dan telah terdaftar di pemerintah daerah setempat, serta bukan organisasi sayap partai, yang kegiatannya memajukan dan mengembangkan kegiatan. Ini kesempatan bagus sebenarnya bagi Aruh Sastra Kalsel yang selama ini bergiat dalam pengembangan seni sastra di Kalsel untuk membulatkan diri menjadi ormas kebudayaan.
Permendagri ini juga menjadi dasar yang otentik bagi Lembaga Budaya Banjar untuk mengajukan rencana pengembangan budaya Banjar untuk didanai oleh APBD secara jelas. Jadi, Permendagri 39 itu bukan landasan hukum yang tepat untuk mendirikan replika keraton Banjar dengan dalih pelestarian budaya karena pelestarian kebudayaan yang dimaksud oleh peraturan ini dapat dilakukan organisasi masyarakat kebudayaan yang non-pemerintah, non-partai, non-profit oriented.
Ada baiknya pihak-pihak yang bersemangat dalam rencana tersebut untuk membaca kembali Permendagri 39/2007 itu dengan seksama sehingga niat baik untuk melestarikan budaya Banjar mendapatkan landasan hukum, logika, dan etika yang kuat. Karena dengan cara demikian, masyarakat tidak lagi mempolemikkan masalah rencana penggunaan uang rakyat untuk rencana yang masih samar-samar konsepnya itu dan mulai mengundang kontroversi dan polemik di tengah masyarakat. Pelestarian budaya Banjar jangan hanya direduksi dengan ada dan tiadanya keraton Banjar. Permendagri tersebut sadar betul bahwa pelestarian budaya adalah tanggung jawab banyak pihak, baik secara individual maupun secara kolektif. Pranata sosial yang sangat besar perannya adalah keluarga Banjar. Pusat pelestarian budaya Banjar yang selama ini berlangsung bukan terjadi di tataran elite, tetapi terjadi di keluarga melalui praktik sosial yang rutin, bukan dalam rangka seremonial dan festival.
Ada ranah pelestarian budaya Banjar yang lebih urgen dan signifikan untuk dibiayai oleh APBD Provinsi yaitu upaya-upaya penindaklanjutan Perda Nomor 7 Tahun 2009 tentang pemeliharaan bahasa dan sastra daerah, termasuk di dalamnya bahasa dan sastra Banjar. Bukankah faktor keintiman orang Banjar dengan keluarga yang melahirkannya dan bahasa yang mereka gunakanlah yang membuat mereka merasa sebagai bagian dari budaya Banjar?
Dalam hubungan dengan rencana strategis pelestarian budaya Banjar tersebut, Diknas provinsi, kabupaten, dan kota bisa menyelenggarakan kegiatan bersama dalam bentuk hibah bersaing penulisan buku ajar atau diktat pembelajaran bahasa dan sastra Banjar untuk semua tingkatan sekolah. Pesertanya adalah para guru di Kalsel. Pada tahap berikutnya, perlu segera dipikirkan kerja sama antara Diknas Provinsi dan Unlam atau LPTK swasta di Kalsel untuk membuka program studi khusus, yaitu Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Banjar (PBSB) sebagai upaya nyata menyiapkan guru pengajar bahasa dan sastra Banjar. Tindak lanjut Perda Nomor 7 tahun 2009 itulah pintu pembuka yang konkret untuk mulai melestarikan budaya Banjar. Sebab jalan pewarisan kebudayaan yang utama adalah melalui pendidikan.
Langkah lainnya adalah dengan membangun ruang khusus di perpustakaan provinsi, kabupaten, dan kota untuk menyimpan naskah, buku, foto, video dokumentasi yang menunjang studi tentang kebanjaran masa lalu sampai masa kini. Ini pun tentu memerlukan dana yang banyak. Apakah telah ada upaya sungguh-sungguh para aparat yang berwenang untuk mendatangkan koleksi tentang kebanjaran yang saat ini tersebar di seluruh penjuru dunia untuk menjadi penghuni perpustakaan provinsi? Ada berapa ribu koleksi naskah tentang kebanjaran di perpustakaan provinsi? Apakah telah ada langkah-langkah agar generasi saat ini tergerak untuk membuka dan mempelajarinya? Kalau belum, janganlah terlalu jauh bicara soal pelestarian budaya.
Radar Banjarmasin, 12 Oktober 2010
Ada pernyataan menarik di laman itu untuk dicermati dengan seksama oleh masyarakat Banjar, terkait dengan dasar hukum rencana pembangunan itu, yaitu Permendagri Nomor 39 Tahun 2007. Selengkapnya, kutipan berita di laman itu sebagai berikut:
Bupati Banjar juga menyebutkan, dia sudah menyiapkan lahan seluas 2 hektar sebagai areal pembangunan Keraton Banjar. Terkait dengan pembangunan Keraton Banjar, berdasarkan Permendagri Nomor 39 Tahun 2007 tentang pedoman fasilitasi organisasi kemasyarakatan bidang kebudayaan, keraton dan lembaga adat dalam pelestarian dan pengembangan budaya daerah, memuat pernyataan bahwa pembangunan keraton, lembaga adat, bisa didanai oleh pemerintah melalui APBD.
Berapakah biaya pembangunan istana atau keraton Kesultanan Banjar? “Pembangunan Keraton Banjar oleh provinsi, tanahnya oleh Kabupaten Banjar. Dananya juga dianggarkan provinsi. Berapa biayanya, saya tidak tahu. Ini urusan Balitbang Kalsel, kalau kurang ditambah dengan APBN atau perantau Banjar di luar negeri dan luar daerah yang berjanji membantu mewujudkan pembangunannya. Pembangunan Keraton Banjar akan mengacu pada rumah Banjar. Realisasi pembangunannya 2011,” papar Khairul Saleh, yang belum lama tadi diangkat sebagai ketua Forum Silaturahmi Kesultanan se Nusantara (FSKN) wilayah Kalsel.
Jika dibaca sepintas, Permendagri yang disebutkan tersebut seakan menjadi dasar hukum pembangunan keraton, tapi bacalah sendiri dengan seksama bahwa Permendagri itu bukan dasar untuk membangun keraton. Bunyi pertimbangan dikeluarkannya peraturan menteri ini dapat dibaca pada butir d yang berbunyi: bahwa organisasi kemasyarakatan bidang kebudayaan, keraton, dan lembaga adat di daerah memiliki potensi besar untuk berperanserta dalam pengembangan dan pelestarian adat budaya. Artinya, peraturan ini menjadi dasar bagi yang telah memiliki keraton untuk mengembangkan kegiatan budaya, bukan untuk mendirikan keraton yang telah musnah. Dalam Permendagri tersebut tidak ada pernyataan bahwa pembangunan keraton, lembaga adat, bisa didanai oleh pemerintah melalui APBD. Pernyataan ini adalah tafsiran yang sangat arbitrer terhadap maksud pasal 10.
Dalam pasal 10 ayat 1 dinyatakan: Penyelenggaraan kegiatan pelestarian dan pengembangan budaya daerah yang melibatkan ormas kebudayaan, keraton dan lembaga adat didukung pendanaannya dari anggaran pendapatan dan belanja daerah propinsi dan/atau kabupaten/kota, serta sumber-sumber lain yang sah. Dengan kata lain, provinsi hanya boleh mendanai jika keraton itu telah berdiri dan telah menyelenggarakan kegiatan pelestarian dan pengembangan budaya.
Lebih aneh lagi jika yang akan tampil sebagai pangeran dalam keraton yang direncanakan dibangun itu adalah orang yang saat ini sedang menjabat sebagai bupati, karena dalam Permendagri itu jelas-jelas disebutkan pada pasal 1 bahwa yang dimaksud dengan kepala adalah Gubernur, Bupati dan Walikota. Artinya, ketiga pihak ini tak berhak sekaligus berfungsi ganda sebagai pangeran di keraton yang akan dibangun.
Jika bupati sekaligus jadi pangeran keraton, akan tampak lucu jika melaksanakan tata laksana kegiatan sebagaimana tercantum dalam Bab IV, pasal 6, ayat 1, yang berbunyi: Kepala daerah mengundang pimpinan ormas kebudayaan, keraton, dan lembaga adat untuk menyampaikan usulan program pelestarian dan pengembangan budaya daerah. Artinya, jika memang bupati lebih tertarik untuk menjadi pemimpin keraton, dia harus melepaskan jabatannya sebagai bupati.
Peraturan ini menegaskan bahwa pengembangan budaya daerah saat ini bukan lagi tugas Jakarta. Wewenang telah pindah ke daerah. Maju mundurnya kebudayaan di daerah akan ditentukan oleh tepat tidaknya sasaran pembangunannya.
Peraturan ini juga menjadi dasar bagi budayawan di Kalsel untuk membentuk ormas kebudayaan yang berhak pula untuk didanai oleh APBD sebaimana tercantum dalam pasal 1 ayat 6: Organisasi kemasyarakatan bidang kebudayaan yang selanjutnya disebut ormas kebudayaan adalah organisasi nonpemerintah bervisi kebangsaan yang dibentuk oleh warganegara Indonesia secara sukarela dan telah terdaftar di pemerintah daerah setempat, serta bukan organisasi sayap partai, yang kegiatannya memajukan dan mengembangkan kegiatan. Ini kesempatan bagus sebenarnya bagi Aruh Sastra Kalsel yang selama ini bergiat dalam pengembangan seni sastra di Kalsel untuk membulatkan diri menjadi ormas kebudayaan.
Permendagri ini juga menjadi dasar yang otentik bagi Lembaga Budaya Banjar untuk mengajukan rencana pengembangan budaya Banjar untuk didanai oleh APBD secara jelas. Jadi, Permendagri 39 itu bukan landasan hukum yang tepat untuk mendirikan replika keraton Banjar dengan dalih pelestarian budaya karena pelestarian kebudayaan yang dimaksud oleh peraturan ini dapat dilakukan organisasi masyarakat kebudayaan yang non-pemerintah, non-partai, non-profit oriented.
Ada baiknya pihak-pihak yang bersemangat dalam rencana tersebut untuk membaca kembali Permendagri 39/2007 itu dengan seksama sehingga niat baik untuk melestarikan budaya Banjar mendapatkan landasan hukum, logika, dan etika yang kuat. Karena dengan cara demikian, masyarakat tidak lagi mempolemikkan masalah rencana penggunaan uang rakyat untuk rencana yang masih samar-samar konsepnya itu dan mulai mengundang kontroversi dan polemik di tengah masyarakat. Pelestarian budaya Banjar jangan hanya direduksi dengan ada dan tiadanya keraton Banjar. Permendagri tersebut sadar betul bahwa pelestarian budaya adalah tanggung jawab banyak pihak, baik secara individual maupun secara kolektif. Pranata sosial yang sangat besar perannya adalah keluarga Banjar. Pusat pelestarian budaya Banjar yang selama ini berlangsung bukan terjadi di tataran elite, tetapi terjadi di keluarga melalui praktik sosial yang rutin, bukan dalam rangka seremonial dan festival.
Ada ranah pelestarian budaya Banjar yang lebih urgen dan signifikan untuk dibiayai oleh APBD Provinsi yaitu upaya-upaya penindaklanjutan Perda Nomor 7 Tahun 2009 tentang pemeliharaan bahasa dan sastra daerah, termasuk di dalamnya bahasa dan sastra Banjar. Bukankah faktor keintiman orang Banjar dengan keluarga yang melahirkannya dan bahasa yang mereka gunakanlah yang membuat mereka merasa sebagai bagian dari budaya Banjar?
Dalam hubungan dengan rencana strategis pelestarian budaya Banjar tersebut, Diknas provinsi, kabupaten, dan kota bisa menyelenggarakan kegiatan bersama dalam bentuk hibah bersaing penulisan buku ajar atau diktat pembelajaran bahasa dan sastra Banjar untuk semua tingkatan sekolah. Pesertanya adalah para guru di Kalsel. Pada tahap berikutnya, perlu segera dipikirkan kerja sama antara Diknas Provinsi dan Unlam atau LPTK swasta di Kalsel untuk membuka program studi khusus, yaitu Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Banjar (PBSB) sebagai upaya nyata menyiapkan guru pengajar bahasa dan sastra Banjar. Tindak lanjut Perda Nomor 7 tahun 2009 itulah pintu pembuka yang konkret untuk mulai melestarikan budaya Banjar. Sebab jalan pewarisan kebudayaan yang utama adalah melalui pendidikan.
Langkah lainnya adalah dengan membangun ruang khusus di perpustakaan provinsi, kabupaten, dan kota untuk menyimpan naskah, buku, foto, video dokumentasi yang menunjang studi tentang kebanjaran masa lalu sampai masa kini. Ini pun tentu memerlukan dana yang banyak. Apakah telah ada upaya sungguh-sungguh para aparat yang berwenang untuk mendatangkan koleksi tentang kebanjaran yang saat ini tersebar di seluruh penjuru dunia untuk menjadi penghuni perpustakaan provinsi? Ada berapa ribu koleksi naskah tentang kebanjaran di perpustakaan provinsi? Apakah telah ada langkah-langkah agar generasi saat ini tergerak untuk membuka dan mempelajarinya? Kalau belum, janganlah terlalu jauh bicara soal pelestarian budaya.
Radar Banjarmasin, 12 Oktober 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar