Oleh: HE. Benyamine
Kota Banjarmasin dikenal dengan
julukan Kota Seribu Sungai, karena memang kota ini memiliki begitu banyak
sungai baik yang alamiah maupun buatan (kanal). Meskipun saat ini sungai-sungai
tersebut mengalami kerusakan yang begitu berat, hingga ada sungai yang
menghilang, namun Kota Banjarmasin masih layak menyandang gelar Kota Seribu
Sungai dengan sungai-sungai yang tersisa, sebagaimana dapat dilihat dari udara
kota Banjarmasin seperti kumpulan pulau-pulau kecil. Kerusakan sungai-sungai
saat ini sudah seharusnya menjadi perhatian yang serius dari Pemko Banjarmasin,
karena keberadaan sungai tidak hanya berhubungan dengan julukan tapi lebih pada
kelangsungan kota sebagai tempat hunian yang layak dan aman.
Untuk mengenal sebuah kota,
selain dari julukan yang dilekatkan atau melalui promosi daerah dan dari mulut
ke mulut mereka yang pernah datang, juga bisa ditemukan pada karya sastra.
Melalui sebuah novel, sebuah kota dapat tergambar secara lebih luas, baik lingkungannya
maupun manusianya dengan berbagai perilakunya. Sebuah novel yang mengambil
latar cerita sebuah kota, cenderung secara tidak langsung merupakan promosi
kota tersebut, yang akan mengundang rasa penasaran saat membaca novel tersebut
dan memberikan bayangan tentang kota tersebut. Melalui novel juga, sebuah kota
dapat memperoleh julukan baru, seperti Kota Banjarmasin yang diungkapkan
sebagai Jazirah Cinta.
Apakah warga Kota Banjarmasin
menyadari kota mereka diberi julukan sebagai Jazirah Cinta? Atau, apakah Pemko
Banjarmasin mengetahui tentang julukan tersebut. Begitu juga dengan elit
politik dan kekuasaan peduli dengan hal demikian. Tentu saja, apabila tidak
pernah membaca novel Jazirah Cinta (Penerbit Zaman, Cet. I:
2008) karya Randu Alamsyah, ungkapan yang sungguh romantik dan religius tidak
begitu dapat disadari ataupun diketahui oleh Pemko, warga, dan elit politik dan
kekuasaan Kota Banjarmasin. Seperti yang diungkapkan berikut, “Mungkin
suatu pagi yang kosong di tepian sungai Barito telah cukup untuk megobati
gulanamu. Mungkin kebeningan itu hadir lewat lantunan azan yang menggetarkan
dari menara Masjid Sabilal Muhtadien, jabat hangat dari anak-anak muda ceria
yang selalu dihiasi senyum tulus di wajah mereka yang bersinar karena sering
dibasuh wudu, aroma surgawi yang menghambur dari Samudra Jilbab putri-putri
pesantren .... (hal.11)“ Suatu gambaran Kota Banjarmasin dan
sekitarnya yang sangat menenangkan dan memberikan energi positif bagi
orang-orang yang hidup di kota ini.
Novel sebagai sebuah karya fiksi,
atau sebuah kehidupan rekaan penulisnya, juga mengandung informasi yang dapat
disandingkan dengan realitas yang menjadi latar ceritanya. Seperti Kota
Martapura yang digambarkan novel Jazirah Cinta dengan lautan manusia saat
pengajian “Cahaya K.H. Zaini bin Abdul Gani di Sekumpul, Martapura”
merupakan petunjuk bahwa pernah ada seorang tokoh ulama kharismatik dan
dicintai di Kalimantan Selatan dan merupakan realitas yang sebenarnya. Hal ini
merupakan suatu rekaman tentang suatu kota dengan aktivitasnya yang luar biasa
yang terdokumentasi dalam sebuah karya sastra, yang mengingatkan tentang
suasana kehidupan saat guru Sekumpul hidup.
Pernahkah walikota Banjarmasin
atau Bupati Banjar mendengar cerita tentang sebuah kota sebagaimana dalam novel
Jazirah Cinta, setidaknya jika tidak sempat membaca, pernah mendapat cerita
tentang novel tersebut dari instansi yang terkait dengan kepariwisataan dan
budaya atau dari istri walikota yang mungkin sempat membacanya. Jika tidak
pernah mendengarnya atau membacanya, maka tidak pernah tahu bagaimana Kota
Banjarmasin (juga Kota Martapura) digambarkan dengan “Perlahan kau akan
menemukan kembali dirimu di sini. Kau akan merakit serpihan-serpihan
kehancuranmu, menata hatimu, dan memulai kembali hidupmu.”
Sebagai ungkapan tentang kota yang dinyatakan dengan sebutan Jazirah
Cinta, “Kau akan membingkai waktu-waktu terbaikmu di Jazirah
Cinta, dan membingkainya menjadi kenang-kenangan hidup yang
tak terlupakan.” Di sini tergambar bagaimana suatu karya sastra dapat
menjadi rujukan bagi warganya sendiri dalam melihat kotanya maupun orang luar
yang membaca buku berlatar kota Banjarmasin dan sekitarnya.
Sebagaimana novel Laskar Pelangi
yang mengenalkan Bangka Belitung, novel Jazirah Cinta juga mempromosikan Kota
Banjarmasin dan sekaligus memberinya julukan yang romantis dan religius. Di
sini terlihat, karya sastra mempunyai bagiannya tersendiri dalam sumbangsihnya
terhadap pembangunan daerahnya atau negara. Sungguh naif, ada elit politik atau
kekuasaan yang mempertanyakan peran sastra dalam pembangunan, dan membandingkan
dengan tugas dan fungsinya sebagai anggota dewan atau pegawai pemerintahan.
Apalagi, jika pemerintah daerah atau elit politik yang tidak menganggap penting
karya sastra dan para penggiatnya dengan mengabaikan dan tidak mempedulikannya;
terlebih tidak pernah membaca karya sastra dari daerahnya sendiri.
Jadi, karya sastra (dari daerah) perlu mendapatkan apresiasi yang
semestinya, terutama dari pemerintah daerah dan elit kekuasaan serta ekonomi,
karena merupakan sebuah karya kreatif yang dapat menjadi inspirasi dalam
mengasah kepekaan dalam menentukan kebijakan dan keputusan suatu kebijakan.
Dunia rekaan atau fiksi, seperti novel, dapat menjangkau sesuatu yang tidak
pernah terbayangkan padahal merupakan bagian kehidupan kita sehari-hari.
Seperti tentang suasana dan masa kehidupan guru Sekumpul, yang bagi sebagian
besar masyarakat merupakan kehidupan yang pernah dialami secara langsung dan
menjadi biasa, namun tidak terbayangkan dalam suatu cerita di sebuah buku (novel)
yang menghadirkan suasana itu meski beliau sudah kembali ke Pemilik hidup.
Dinas kepariwisataan atau instansi terkait Kota Banjarmasin atau Kabupaten
Banjar khususnya dan Kalimantan Selatan umumnya seharusnya berbangga dengan
kehadiran novel Jazirah Cinta, yang tentu tidak berlebihan jika menjadikannya
souviner bagi tamu daerah. Begitu juga terhadap karya sastra lainnya.
(Media Kalimantan, 5 Juli 2011: C5 --
Halaman Seni & Budaya)
1 komentar:
Adakah sudah semacam lomba menulis cerpen dengan tema/latar belakang budaya banjar?
Posting Komentar