Sabtu, 08 Oktober 2011

BANJARMASIN KOTA JAZIRAH CINTA


Oleh: HE. Benyamine


Kota Banjarmasin dikenal dengan julukan Kota Seribu Sungai, karena memang kota ini memiliki begitu banyak sungai baik yang alamiah maupun buatan (kanal). Meskipun saat ini sungai-sungai tersebut mengalami kerusakan yang begitu berat, hingga ada sungai yang menghilang, namun Kota Banjarmasin masih layak menyandang gelar Kota Seribu Sungai dengan sungai-sungai yang tersisa, sebagaimana dapat dilihat dari udara kota Banjarmasin seperti kumpulan pulau-pulau kecil. Kerusakan sungai-sungai saat ini sudah seharusnya menjadi perhatian yang serius dari Pemko Banjarmasin, karena keberadaan sungai tidak hanya berhubungan dengan julukan tapi lebih pada kelangsungan kota sebagai tempat hunian yang layak dan aman.

Untuk mengenal sebuah kota, selain dari julukan yang dilekatkan atau melalui promosi daerah dan dari mulut ke mulut mereka yang pernah datang, juga bisa ditemukan pada karya sastra. Melalui sebuah novel, sebuah kota dapat tergambar secara lebih luas, baik lingkungannya maupun manusianya dengan berbagai perilakunya. Sebuah novel yang mengambil latar cerita sebuah kota, cenderung secara tidak langsung merupakan promosi kota tersebut, yang akan mengundang rasa penasaran saat membaca novel tersebut dan memberikan bayangan tentang kota tersebut. Melalui novel juga, sebuah kota dapat memperoleh julukan baru, seperti Kota Banjarmasin yang diungkapkan sebagai Jazirah Cinta.

Apakah warga Kota Banjarmasin menyadari kota mereka diberi julukan sebagai Jazirah Cinta? Atau, apakah Pemko Banjarmasin mengetahui tentang julukan tersebut. Begitu juga dengan elit politik dan kekuasaan peduli dengan hal demikian. Tentu saja, apabila tidak pernah membaca novel Jazirah Cinta (Penerbit Zaman, Cet. I: 2008) karya Randu Alamsyah, ungkapan yang sungguh romantik dan religius tidak begitu dapat disadari ataupun diketahui oleh Pemko, warga, dan elit politik dan kekuasaan Kota Banjarmasin. Seperti yang diungkapkan berikut, “Mungkin suatu pagi yang kosong di tepian sungai Barito telah cukup untuk megobati gulanamu. Mungkin kebeningan itu hadir lewat lantunan azan yang menggetarkan dari menara Masjid Sabilal Muhtadien, jabat hangat dari anak-anak muda ceria yang selalu dihiasi senyum tulus di wajah mereka yang bersinar karena sering dibasuh wudu, aroma surgawi yang menghambur dari Samudra Jilbab putri-putri pesantren .... (hal.11)“ Suatu gambaran Kota Banjarmasin dan sekitarnya yang sangat menenangkan dan memberikan energi positif bagi orang-orang yang hidup di kota ini.

Novel sebagai sebuah karya fiksi, atau sebuah kehidupan rekaan penulisnya, juga mengandung informasi yang dapat disandingkan dengan realitas yang menjadi latar ceritanya. Seperti Kota Martapura yang digambarkan novel Jazirah Cinta dengan lautan manusia saat pengajian “Cahaya K.H. Zaini bin Abdul Gani di Sekumpul, Martapura” merupakan petunjuk bahwa pernah ada seorang tokoh ulama kharismatik dan dicintai di Kalimantan Selatan dan merupakan realitas yang sebenarnya. Hal ini merupakan suatu rekaman tentang suatu kota dengan aktivitasnya yang luar biasa yang terdokumentasi dalam sebuah karya sastra, yang mengingatkan tentang suasana kehidupan saat guru Sekumpul hidup.

Pernahkah walikota Banjarmasin atau Bupati Banjar mendengar cerita tentang sebuah kota sebagaimana dalam novel Jazirah Cinta, setidaknya jika tidak sempat membaca, pernah mendapat cerita tentang novel tersebut dari instansi yang terkait dengan kepariwisataan dan budaya atau dari istri walikota yang mungkin sempat membacanya. Jika tidak pernah mendengarnya atau membacanya, maka tidak pernah tahu bagaimana Kota Banjarmasin (juga Kota Martapura) digambarkan dengan “Perlahan kau akan menemukan kembali dirimu di sini. Kau akan merakit serpihan-serpihan kehancuranmu, menata hatimu, dan memulai kembali hidupmu.”   Sebagai ungkapan tentang kota yang dinyatakan dengan sebutan Jazirah Cinta, “Kau akan membingkai waktu-waktu terbaikmu di Jazirah Cinta, dan membingkainya menjadi kenang-kenangan hidup yang tak terlupakan.” Di sini tergambar bagaimana suatu karya sastra dapat menjadi rujukan bagi warganya sendiri dalam melihat kotanya maupun orang luar yang membaca buku berlatar kota Banjarmasin dan sekitarnya.

Sebagaimana novel Laskar Pelangi yang mengenalkan Bangka Belitung, novel Jazirah Cinta juga mempromosikan Kota Banjarmasin dan sekaligus memberinya julukan yang romantis dan religius. Di sini terlihat, karya sastra mempunyai bagiannya tersendiri dalam sumbangsihnya terhadap pembangunan daerahnya atau negara. Sungguh naif, ada elit politik atau kekuasaan yang mempertanyakan peran sastra dalam pembangunan, dan membandingkan dengan tugas dan fungsinya sebagai anggota dewan atau pegawai pemerintahan. Apalagi, jika pemerintah daerah atau elit politik yang tidak menganggap penting karya sastra dan para penggiatnya dengan mengabaikan dan tidak mempedulikannya; terlebih tidak pernah membaca karya sastra dari daerahnya sendiri.

Jadi, karya sastra (dari daerah) perlu mendapatkan apresiasi yang semestinya, terutama dari pemerintah daerah dan elit kekuasaan serta ekonomi, karena merupakan sebuah karya kreatif yang dapat menjadi inspirasi dalam mengasah kepekaan dalam menentukan kebijakan dan keputusan suatu kebijakan. Dunia rekaan atau fiksi, seperti novel, dapat menjangkau sesuatu yang tidak pernah terbayangkan padahal merupakan bagian kehidupan kita sehari-hari. Seperti tentang suasana dan masa kehidupan guru Sekumpul, yang bagi sebagian besar masyarakat merupakan kehidupan yang pernah dialami secara langsung dan menjadi biasa, namun tidak terbayangkan dalam suatu cerita di sebuah buku (novel) yang menghadirkan suasana itu meski beliau sudah kembali ke Pemilik hidup. Dinas kepariwisataan atau instansi terkait Kota Banjarmasin atau Kabupaten Banjar khususnya dan Kalimantan Selatan umumnya seharusnya berbangga dengan kehadiran novel Jazirah Cinta, yang tentu tidak berlebihan jika menjadikannya souviner bagi tamu daerah. Begitu juga terhadap karya sastra lainnya.

(Media Kalimantan, 5 Juli 2011: C5 -- Halaman Seni & Budaya)

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Adakah sudah semacam lomba menulis cerpen dengan tema/latar belakang budaya banjar?